Kamis, 30 Mei 2013

Riwayat Hidup Sidharta Gautama


-        Makalah Revisi -
Riwayat Sidharta Gautama; Pengertian Budha, Dharma, dan Triatna, Pengertian Saddha dan Panca Saddha (Sang Hyang Adi Buddha, Budha, Bodhisatwa, Arahat)
Diajukan guna memenuhi tugas pada mata kuliah Budhisme semester 4
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, MA

Oleh:
ATI PUSPITA
1111032100055
PERBANDINGAN AGAMA – B
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENDAHULUAN

Agama Buddha timbul sekitar abad ke-enam SM sebagai reaksi terhadap sistem upacara keagamaan Hindu Brahmana yang kaku. Istilah Buddha, berasal dari kata ‘Buddh’ yang artinya ‘bangkit’ atau ‘bangun’, dan dari kata kerjanya ‘Bujjhati’ berarti memperoleh pencerahan, mengetahui, dan mengerti, sehingga kata Buddha dapat diartikan seseorang yang telah memperoleh kebijaksanaan yang sempurna.[1] Sebagaimana umumnya diketahui oleh banyak orang bahwa nama agama Buddha berasal dari Siddharta Gautama, yang diterima oleh murid-muridnya sebagai Buddha atau ‘Kebangkitan Buddha’.[2]
Sebagai agama, ajaran Buddha tidak bertitik tolak dari Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia, tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang harus dijalani agar terbebas dari lingkungan dukkha (penderitaan) yang selalu mengiringi hidupnya.[3]


  1. INDIA SEBELUM MASA BUDDHA GAUTAMA

Terdapat dua corak dari agama-agama di dunia dewasa ini, yaitu berpusat pada Tuhan (theis-sentris) dan berpusat pada manusia (homo-sentris).[4]
            Sebagai salah satu tempat berkembangnya peradaban dan kebudayaan dunia, India telah menjadi tanah suci bagi banyak orang untuk mendalami hakikat hidup Terdapat 2 pandangan yang lazim di India sebelum masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme dan Sramanaisme.
Apakah pandangan Brahmanisme dan Sramanaisme itu? [5]
Pandangan Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan dari bangsa Arya. Menurut paham ini, roh dan jasmani adalah satu. Dengan demikian apabila roh dan jasmani merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak ada lagi kehidupan selanjutnya (karena matinya badan jasmani akan berarti matinya roh atau jiwa). Inilah yang disebut paham nihilisme. Apa akibat dari mereka yang memegang pandangan ini? Karena beranggapan bahwa hidup hanya sekali dan tidak ada lagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang akan terus-menerus memuaskan nafsu keserakahannya pada kehidupan ini. [6]
Berbeda dari pandangan Brahmanisme, pandangan Sramanaisme yang diturunkan oleh bangsa Dravida menganggap bahwa roh dan jasmani bukanlah satu kesatuan. Dan karena roh tidak sama dengan jasmani, maka matinya badan jasmani tidak berarti matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang kekal dan abadi dan apabila pada saatnya seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya menyatu dengan keabadian itu sendiri. Pandangan ini memunculkan paham eternalisme (kekekalan). Apa akibat dari mereka yang memegang pandangan ini?
Karena beranggapan bahwa roh akan terus ada, roh ini pada akhirnya harus berhenti dalam penyatuan dengan sesuatu yang disebut Maha Kekal. Dan untuk bisa menyatu dengan sesuatu Yang Maha Kekal, roh tersebut haruslah menjadi roh yang suci dahulu. Akibatnya seseorang akan terus melakukan penyiksaan diri (bahkan sampai berlebihan) dengan tujuan menyucikan rohnya sendiri. [7]
Kedua pandangan ini ditolak oleh Buddha Gautama dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan sebuah jalan alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan atau Jalan Tengah (the middle way). Bagi umat Buddha ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman hidup daripada sebatas agama.
Mengapa? Karena apa yang ditawarkan oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan, melainkan sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat diterima oleh semua orang) agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan lebih berarti. [8]

  1. RIWAYAT SIDDHARTA GAUTAMA
Menurut para ahli barat, Buddha Gautama, pendiri Agama Buddha dilahirkan pada tahun 563 SM dan wafat pada tahun 483 SM. Ia adalah anak Raja Suddhodana yang memerintah atas suku Sakya. Ibunya bernama Maya. Ia dibesarkan di ibukota kerajaan yaitu Kapilawastu.[9]
Dalam kehamilan, kelahirannya ratu Maya merasakan ada tanda-tanda bahwa anak yang dikandungnya tidak akan menjadi anak yang biasa. Karena ramalan pun menyebutkan demikian.[10]
Ratu Maya melahirkan seorang Bodhisattwa tanpa kesulitan Dan para dayang yang mendampingi Ratu, menyaksikan dengan penuh kesenangan.[11]
Pertapa Asita berdiam disalah satu gunung yang tidak begitu jauh dari istana, mengunjungi pangeran untuk menyaksikan tanda-tanda pada tubuh pangeran, memperhatikan dengan seksama dan menemukan bahwa pangeran memiliki kewajiban besar (karena memiliki tanda-tanda tubuh dari orang yang Agung yang disebut Maha Purisa.[12]
Pertapa Asita tertawa setelah melihat pangeran. Tertawa karena pada suatu hari nanti pangeran akan mencapai Kesempurnaan (Buddha), sempurna dalam Kebijaksanaan maupun Kewajiban, menjadi Guru para dewa dan manusia. Kemudian ia menangis karena usianya yang telah lanjut dan tidak mempunyai kesempatan lagi melihat dan mendengarkan saat pangeran mencapai kesempurnaan tersebut dan menjadi Juru Selamat dunia dengan mengajarkan Buddha Dharma. Kemudian ia berlutut dan menghormat kepada pangeran dan tanpa disadari diikuti oleh Raja Suddhodana.[13]
Tetapi pemaisuri wafat ketika sang bayi berumur satu Minggu.[14] Buddha sekarang diasuh oleh kakak perempuan ibunya, Mahaprajapati, yang juga menjadi istri Raja Suddhodana.[15] Bayi itu diberi nama Siddharta, yang berarti semua cita-citanya tercapai, Gautama adalah nama keluarganya[16] juga karena sanak keluarganya menganggap dirinya sebagai keturunan Guru Weda Gautama. Ia juga disebut Shakyamuni yakni rahib atau yang bijaksana dari kaum Shakya, dan Shaakya-sinha yaitu Singa dari kaum Sakya karena ia termasuk golongan Ksatria keturunan Shakya.[17] Pada waktu hidupnya Siddharta sebagai putra raja, Siddharta dilimpahi oleh kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Maksud ayahnya ialah untuk menjauhkan Siddharta dari pemikiran menjadi pemimpin Agama. Namun, hati Siddharta lebih tertarik pada pertapaan.[18]
Setelah Pernikahan Pangeran Siddharta dengan Putri Yasodhara, mereka hidup sangat bahagia, karena mereka cocok satu sama lain. Pangeran hidupnya sangat senang, tetapi hanya menikmati hidup penuh kesenangan duniawi di istananya. Namun demikian, pangeran suka pergi menyendiri untuk merenung di tempat yang suci dan tenang.[19]
Pada suatu hari, Siddharta bercengkrama dengan saisnya, Chanda. Sekalipun raja telah memerintahkan agar seluruh jalan itu harus dibersihkan dari hal yang tidak menyenangkan namun dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah tua sekali (menurut dongeng, orang tersebut adalah penjelmaan Dewa Brahma yang dengan sengaja menampakan hal itu karena sudah waktunya Siddharta meninggalkan kemewahan).
Atas keterangan Chanda ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta kembali ke istana. Pada perjalanan cengkeramanya yang kedua Siddharta melihat orang yang kurus dan sakit hingga tampak lemah sekali, kemudian dalam perjalanan yang ketiga ia melihat jenazah yang diangkut ke kubur dengan diikuti oleh orang-orang yang mengantarkannya. Akhirnya pada perjalanan cengkerama yang keempat ia melihat seorang pertapa, yang tampak serius, terhormat, serta menguasai diri.[20]
Empat peristiwa penting tadi, yang beliau lihat tua, sakit, meninggal, dan pertapa mulia, menyadarkan beliau bahwa semua itu harus dialami oleh semua makhluk, yakni seorang manusia akan tua, akan sakit, dan akan meninggal.[21] Sejak itu Siddharta ingin mengikuti kehidupan pertapa ini. Ia mencari jalan bagaimana dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[22]
Pada waktu yang sudah ditentukan oleh para dewa, Siddharta pergi meninggalkan istri dan anaknya serta segala kenikmatan hidup di dalam istana. Dengan tanpa diketahui siapapun.[23] Semua itu terjadi sama seperti yang sudah diramalkan oleh seorang Brahmana pada waktu kelahiran Siddharta, yaitu bahwa Putra raja akan menjadi seorang Buddha, dan bahwa hal itu akan dimulai setelah sang putra raja melihat empat tanda: orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa.[24]
Sekarang dimulailah hidup pengembaraan untuk memperoleh kelepasan. Tetapi lama ia tidak mendapatkan apa yang dicarinya.[25] Akhirnya, suatu sore waktu ia berumur 35 tahun. Ia duduk di bawah pohon Bodhi[26] (pohon kesadaran) di Bodh Gaya dengan maksud tidak akan meninggalkan pohon itu sebelum ia mendapat pencerahan. Ia duduk di bawah pohon dengan menghadap ke timur.[27]
Pertapaan itu dilaluinya dengan gangguan Mara, iblis dengan macam-macam cara. Namun Siddharta berhasil mengalahkannya.
Pencerahan adalah jalan agung menuju negeri orang yang mengetahui segalanya. Ia adalah mata yang suci yang dapat melihat jalan, benar dan salah. Ia adalah benih dari semua Buddha dan menyebabkan ajaran Buddha tumbuh. (Kegon-Gyo (Avatamsaka-sutra))
Saat matahari terbit, Siddharta memperoleh kemenangan dengan tiga tahap :

Ø  Waktu jaga malam yang pertama ia mendapatkan pengetahuan tentang kehidupannya yang terdahulu.
Ø  Waktu jaga malam yang kedua ia menjadi mahatahu.
Ø  Dan akhirnya pada waktu jaga malam yang ketiga ia mendapat pengertian akan pangkal yang bergantungan, yang menjadi awal segala kejahatan. Demikianlah, hingga matahari terbit ia sudah mendapatkan pencerahan yang sempurna.[28]
            Diiringi dengan mukjizat-mukjizat yang luar biasa ketika itu. Seperti: kejahatan hilang di hati manusia, sakit menjadi sembuh, alam diterangi oleh sinar yang luar biasa, dlsb. Sekarang Siddharta disebut Tathagata. Mula-mula Siddharta ragu-ragu, apakah yang diperolehnya itu dapat diajarkan kepada orang lain. Ia takut, bahwa orang akan menyalahgunakan ajarannya. Ketika sang Buddha ragu-ragu tersebut ada mujizat yang lain seperti burung tidak terbang, sungai tidak mengalir, dlsb.[29]
Oleh karena itu, Dewa Brahma meminta kepada sang Buddha untuk mengajarkan apa yang sudah didapatnya kepada umat manusia.[30] Pembicaraan pertama dilakukan di kota Benares. Hanya lima murid[31] (Kondana, Bodiya, Wappa, Mahanama, da Asaji) didapatnya. Tetapi kemudian pengikutnya bertambah.[32]
Akhirnya pada umur 80 tahun wafatlah sang Buddha di Kusinara. Tubuhnya dibakar, tetapi hanya daging dan bungkusnya yang menjadi abu, sedang tulang-tulangnya tinggal utuh. Karena peninggalan itu menjadi bahan perebutan, maka dibagilah peninggalan itu menjadi delapan bagian. Siapa yang minta delapan bagian harus mendirikan bangunan bagi peninggalan itu.[33]
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, selain mendapatkan gelar Buddha, Siddharta juga telah mendapatkan gelar Bhagava (orang yang menjadi sendiri tanpa guru yang mengajar sebelumnya), Sakya-mimi (pertapa dari suku Sakya); Sakya-sumha (Singa dari suku Sakya); Sugata (orang yang datang dengan selamat); Svarta-Siddha (orang yang terkabul semua permintaan) dan Tataghata (orang yang baru  datang).[34]
Pendapat H. Kern menyebutkan dan mengakui kehidupan Buddha memang pernah ada, tetapi ceritanya memang diliputi oleh suatu mitologi. Karena, bagi pengikut Buddha, hidup Gautama sebagai perorangan tidak dianggapnya penting. Yang dipentingkan adalah idenya.[35]

  1. PENGERTIAN BUDDHA, DHARMA, DAN TRIRATNA
*      Buddha adalah sebuah gelar, suatu jabatan atau seorang tokoh yang sudah pernah menjelma pada seseorang.[36] Menurut keyakinan Buddhis sebelum tahap zaman sekarang ini, sudah ada tahap zaman yang tak terbilang banyaknya. Tiap zaman memiliki Buddhanya sendiri-sendiri. Oleh karena itu tiap zaman memiliki Buddhanya sendiri-sendiri.[37]
Seorang Buddha adalah orang yang mendapat pengetahuan dengan kekuatannya sendiri.[38] Sekalipun Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM akan tetapi menurut keyakinan Buddhis, pada tahun. Itu Gautama bukan baru pertama kali datang ke dalam dunia. Sebelum ia dilahirkan sebagai Siddharta ia telah hidup berjuta-juta abad, dengan nama Sumedha. Sama dengan nasib tiap orang, ia mengalami kelahiran kembali berkali-kali. Sebagai binatang, manusia, dewa. Selanjutnya tentang tokoh Buddha diajarkan bahwa tokoh ini sebenarnya berasal dari suatu asas rohani, suatu kebudhaan atau "tabiat kebudhaan" yang besembunyi di dalam diri tiap orang yang menjadi Buddha, juga di dalam diri Siddharta.[39]
Seorang Buddha bukanlah seorang Juruselamat yang melepaskan orang lain dengan pengampunannya melainkan seorang penunjuk jalan, yang hanya menunjukan jalan ke arah kebahagiaan.[40]
*      Dharma adalah doktrin atau pokok ajaran. Inti dharma Buddha dirumuskan dalam empat aryasatyani yaitu ajaran yang diajarkan Gautama di Benares, sesudah ia mendapat pencerahan.[41]
Yaitu:
*      Dukha, penderitaan. Hidup adalah menderita.
*      Samudaya, sebab. Penderitaan ada sebabnya, yang menyebabkan orang dilahirkan adalah keinginan untuk hidup, disertai nafsu, untuk mencari kepuasan disana-sini, yaitu kehausan pada kesenangan, kehausan pada kekuasaan.[42]
*      Nirodha, pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dengan penghapusan keinginan.
*      Marga, jalan kelepasan. Jalan menuju pemadaman penderitaan ada delapan :
Percaya yang benar, maksud yang benar, kata-kata yang benar, perbuatan yang benar, hidup yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, Dan semadi yang benar.[43]
Pokok ajaran Buddha Gautama, hidup adalah menderita. Seandainya di dalam dunia tiada penderitaan, Buddha tidak akan menjelma di dunia. Orang dilahirkan, menjadi tua, dan mati; tiada hidup yang tetap.[44] Kehausan dan keinginan yang menyebabkan penderitaan pada hakikatnya disebabkan karena ketidaktahuan atau awidya.[45], yaitu ketidaktahuan yang menjadikan orang dikaburkan pandangannya. Ketidaktahuan ini mengenai tabiat asasi alam semesta, yang memiliki tiga ciri yang mencolok, yaitu:
A. Alam semesta penuh dengan penderitaan (dukha)
B. Alam semesta adalah fana (anitya)
C. Tiada jiwa di dalam alam semesta ini (anatman)[46]
Banyak ajaran Dharma yang dapat diuraikan, dibahas, dan dimengerti. Tetapi, ada beberapa ajaran Dharma yang hanya dapat ditembus oleh intuisi dan Pandangan Terang.[47]
*      Triratna, ajaran Agama Buddha dapat dirangkum di dalam Triratna (tiga batu permata), yaitu Buddha, Dharma, Sangha (jemaat Buddha).[48]


Sumber: Wikipedia

Sangha dibagi menjadi dua bagian, yaitu: para biksu atau para rahib dan kaum awam.[49]
Para biksu yang menyerahkan sepenuh hidupnya untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, dengan menjauhkan sangat duniawi dari pandangannya, sementara kaum awam tidak sepenuhnya menjauhi duniawi (berkeluarga, bermasyarakat), memberi biksu sedekah pun sudah mendapatkan pahala.
Sekalipun semuanya belum dapat membawa orang kepada nirwana, namun dapat menjadikan mereka dilahirkan kembali di dalam dunia yang lebih baik daripada yang sekarang mereka alami.[50]
Triratna secara lengkap diucapkan dengan tenang dan khusyu sampai tiga kali disebut Trisarana:

            Aku berlindung kepada Buddha
Aku berlindung kepada Dharma
Aku berlindung kepada Sangha

                        Kedua kali Aku Berlindung kepada Buddha
                        Kedua kali Aku Berlindung kepada Dharma
                        Kedua kali Aku Berlindung kepada Sangha

Ketiga kali Aku Berlindung kepada Buddha
Ketiga kali Aku Berlindung kepada Dharma
Ketiga kali Aku Berlindung kepada Sangha


  1. PENGERTIAN SADHA DAN PANCA SADHA

Saddha adalah sebutan dalam bahasa Pali atau Sradha sebutan dalam bahasa Sanskerta, yang berarti Keyakinan atau Kepercayaan-Benar (Confident).[51]
Dalam ajaran Buddha, sesungguhnya menekankan suatu kepercayaan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang nyata. Jadi, Saddha juga berarti : [52]
Keyakinan, Kepercayaan-Benar, Keimanan dalam Bakti.
Isi Saddha, secara garis besarnya yang harus dimengerti oleh setiap siswa agama Buddha yaitu adanya:[53]
  1. Sanghyang Adi Buddha = Tuhan Yang Maha Esa
  2. Triratna/Tiratana = Tiga Mustika (Buddha, Dharma, Sangha)
  3. Arahat/Arhat = Tingkat Kesucian Tertinggi
  4. Bodhisattva/Bodhisattwa = Calon Buddha
  5. Tilakkhana = Hukum Tiga Corak Umum
  6. Paticca-Samuppada = Hukum Pokok Permulaan Sebab Akibat yang saling bergantungan
  7. Kharma/Kamma = Hukum perbuatan yang dilakukan oleh pikiran, kata-kata dan badan.
  8. Punabbhava/Punarbhava = Tumimbal Lahir
  9. Cattari Ariya Saccani = Empat Kebenaran Mulia (Empat Kesunyataan)
  10. Nibbana/Nirwana = Padamnya Nafsu dan Kekotoran
Adapun Panca Saddha (lima keyakinan) dari agama Buddha adalah sebagai berikut:
*                  Keyakinan terhadap Adhi Budha
*                  Keyakinan Terhadap Para Budha, Bodhisatwa dan Arahat
*                  Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan
*                  Keyakinan Terhadap Kitab Suci (Tripitaka)
*                  Keyakinan Terhadap Nibbana
Yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah Saddha yang point ke satu dan kedua.

a) Keyakinan terhadap Adhi Buddha
Para penganut Mahayana di Indonesia menganggap bahwa Sang Hyang Adi Buddha sebagai Tuhan Yang Maha Esa, yang juga disebut ‘Swayambu Lokananta’ (pelindung dunia) yang berkedudukan di Nirwana dan ‘Anista Buwana’ yaitu Alam di atas segala Alam semesta. Jadi, Sang Hyang Adi Buddha adalah Dharmakaya[54] (Kebenaran yang permanen, tidak berbeda, dan dapat dipahami, tetapi penjelasan yang mendetail tentangnya beragam menurut aliran-aliran Agama Buddha yang berbeda) yang kekal, abadi, tanpa awal, tanpa akhir, tanpa bentuk meliputi segala sesuatu, yang hanya dapat diselami oleh mereka yang telah mencapai ‘samyak sambodhi’, kesadaran tertinggi.[55]
Agama Buddha di Indonesia tidak pernah memanusiakan perwujudan Tuhan.[56]
Agama buddha bagi bangsa Indonesia adalah merupakan Agama yang ber-Tuhan dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutannya Sang Hyang Adi Buddha. Bagi umat beragama buddha Indonesia, ajaran Yang Maha Esa adalah falsafah hidup.[57]
Agama Buddha Indonesia adalah monotheistis, karena percaya terhadap Satu Tuhan. Istilah Adi Buddha telah digunakan di Indonesia sejak zaman nenek moyang sebelum Majapahit.[58]
Istilah Adi Buddha digunakan untuk menamakan sumber kebudhaan dan istilah ini ditemukan baik di Pulau Jawa (Indonesia) maupun di Nepal dan di Tibet. Dianggap istilah tersebut berasal dari Mahayana di Benggala. Di Nepal selain Adi Buddha dikenal juga dengan Adinata yang berarti Pelindung Utama atau Svayambhulokanata yang berarti Pelindung Jagad yang tidak dilahirkan. Bukti pertama konsep Adi Buddha ini terdapat dalam kitab “Nama-sangiti” karya Bhikku Indonesia bernama Chandrakirti.[59]
Candi Borobudur adalah salah satu bukti dari keagungan Agama Buddha Indonesia.
Theologi Agama Buddha Indonesia menyimpulkan Sanghyang Adi Buddha adalah merupakan “sesuatu” Yang Maha Shakti, Maha Mengetahui, Maha Agung yang dalam suasana Semadhi telah menyebabkan terwujudnya alam semesta dengan segala isinya. Lima Thagata adalah merupakan pancaran dari suatu sumber pokok yaitu sumber kebudhaan yang merupakan sumber yang Esa dari kelangsungan hidup seluruh alam semesta dan segala isinya.[60]
Adi Buddha merupakan daya dan gaya hidup yang menghidupkan segala yang hidup. Adi Buddha sebagai sumber kebudhaan memancarkan cahanya menjadi cahaya yang sangat syahdu dan kudus disebut Dhyani Buddha, yang merupakan intisari dari kelima Manusia Buddha.[61]
Dhyani Buddha disebut juga Tathagata atau Jina.[62]
Adi Buddha melahirkan lima Dhyani Buddha yaitu ‘Buddha Amitaba (cahaya tanpa batas), Vairocana (sumber cahaya), Aksobaya (sumber ketenangan), Ratna Sambawa (permata alam semesta), dan Amoghasiddhi (mahajadi yang tidak mengenal kegelapan).[63]
Selajutnya, kelima Dhyani Buddha itu menjelma menjadi manusia Buddha sebagai berikut :
*                  Vairocana = Kakusanda Buddha
*                  Aksobaya = Kanogamana Buddha
*                  Ratna Sambawa = Kassapa Buddha
*                  Amitaba = Buddha Gautama
*                  Amoghasiddhi = Maitreya Buddha
Adi Buddha sebagai Zat Mutlak adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menjadi sumber segala yang ada, telah menjelma dalam tiga wujud (trimurti) yaitu: Dhyani Buddha (sukma Buddha), Dhyani Bodhisattwa (Ego Sang Buddha) dan sebagai Manusia Buddha.[64]

Adapun Dhyani Bodhisattwa yang menjelma menjadi Samanthabadra (tengah), Vajrapani (timur), dan Ratnapani (selatan). Di atas kelima Buddha yang memancarkan Bodhisattwa dan Manusia Buddha itu ada yang tertinggi adalah Adhi Buddha atau Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan antara Dhyani Buddha, Bodhisattwa dan Budha Dunia itu erat sekali dan tidak terpisahkan satu sama lain, sebagaimana digambarkan jelas sekali pada patung Bodhisattwa Avalokisvara di Candi Mendut, Indonesia. Menurut kepercayaan Mahayana ada lima Dhyani Buddha, Bodhisattwa dan Manusia Buddha dengan masing-masing kelompok menempati salah satu penjuru dunia sesuai dengan arah mata angin dan salah satu daripadanya berada di tengah sebagai titik pusatnya.
Mereka bertugas dalam salah satu masa yang terbagi dalam lima masa, dan untuk masa sekarang ini yang bertanggung jawab adalah Amitaba, Bodhisattwa Alokatisvara, dan Buddha manusia Gautama.[65]
           
Penjelmaan di masa yang akan datang:
*                  Dhyani Buddha sebagai Amogasida
*                  Dhyani Bodhisattwa sebagai Vispasani
*                  Manusia Buddha sebagai Maitreya

Perkembangan aliran Buddha Mahayana, ini hampir meliputi seluruh wilayah Asia sebelah selatan, terutama seperti negara Nepal, Tibet, Tiongkok, dan Jepan dengan berbagai versi sesuai kebangsaannya masing-masing.

b) Keyakinan terhadap para Buddha, Bhodisattwa, dan Arhat
Terdapat 27 Budhha - Buddha terdahulu yaitu:[66]


1)                  Tahankara
2)                  Medhankara
3)                  Saranankara
4)                  Dipankara
5)                  Kondanna
6)                  Mangala
7)                  Sumana
8)                  Revata
9)                  Sobhita
10)              Anomadasi
11)              Paduma
12)              Narada
13)              Padumuttara
14)              Sumedha
15)              Sujata
16)              Piyadassi
17)              Attadassi
18)              Dhammadassi
19)              Siddhattha
20)              Tissa
21)              Phussa
22)              Vipassi
23)              Sikhi
24)              Vessabhu
25)              Kakusandha
26)              Konagamana
27)              Kassapa


Buddha Gautama adalah Buddha yang terakhir atau yang ke-28.

Semua Buddha mengajarkan ilmu yang sama yaitu Dharma dan kebajikan untuk pembebasan mutlak dari penderitaan, Nibbana[67] Baik dalam Hinayana maupun Mahayana, kedua-duanya mengajarkan pelajaran dan tujuan yang sama, hanya mungkin upacara-upacara keagamaannya yang agak berlainan.[68]
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran mahayana adalah Bodhisattwa dan Sunyata (kekosongan) karena kedua kata itu hampir terdapat pada tiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.[69] Ajaran Buddha Gautama menasehatkan semua orang menjadi Buddha atas tingkat dan derajat yang disebut Nibbana, dimana semuanya akan terbebas dati samsara, terbebas dari hukum tumimbal lahir. Jadi, jelas Nibbana tidak kosong, kata istilah sunnya bukan kosong yang tidak berarti apa-apa. Menjelaskan bahwa sunnyata adalah  ketenangan abadi, ketenangan agung, yang terbebas dari gerak dan hukum alam. [70]
Secara harfiah Bodhisattwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah Bodhi (hikmat) yang sempurna.
Sebelum Mahayana timbul, pengertian Bodhisattwa sudah dikenal juga kepada Buddha Gautama sebelum ia menjadi Buddha. Di situ Boddhisattwa berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi Buddha. Jadi, semula Boddhisattwa adalah orang yang sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain.[71]
Kata Sansakerta Bodhisatwa telah diterjemahkan ke dalam berbagai cara yang berbeda. Bodhi artinya adalah ‘penerangan’, tetapi beberapa interpretasi dari kata Satwa telah diajukan oleh para sarjana di masa dahulu maupun di masa modern. Berikut dipaparkan di bawah ini:[72]
*      Satwa, berarti ‘sari, sifat dasar, sari asli’ (Skt. Dicy. Pbg & Skt. Dicy. M. W.)
Kata Pali ‘Satwa’ berarti ‘isi pokok’ (Pali Dicy. S. V.)
*      Satwa (maskuline) boleh berarti ‘setiap hidup atau mengalami sensasi tubuh’ (Skt. Dicy. M. W.). Kata Pali Satta dapat berarti ‘makhluk hidup, makhluk, mengalami sensasi dan rasio tubuh, orang’ (Pali Dicy. S. V.)
Kebanyakan siswa modern mengambil interpretasi ini.
1)      H. Kern: ‘mengalami sensasi atau tubuh yang layak, memiliki bodhi (‘Manual’, p. 56, line 11)
2)      T. W. Rhys Davids and w. Stede: ‘makhluk-bodhi yakni makhluk yang mempersiapkan untuk mencapai penerangan yang sepenuhnya’ (Pali Dicy. S. V.)
3)      L. O. Barnett: ‘makhluk dengan penerangan’ (‘Path
4)      E. F. Thomas: ‘makhluk dengan (atau mempersiapkan untuk) Penerangan’ (‘Buddha’, p.2. note I)
5)      D. T. Suzuki: ‘Makhluk-Intelegensi’ (outline-p.297)
6)      Csoma de Koros: ‘Jiwa kuat, Suci’ (Csoma, p.6)
7)      Penulis ‘Samadhi-Raja-Sutra’ menginterpretasikan Satwa sebagai ‘badan, makhluk’ namun memikirkan bahwa kata bodhisatwa berarti ‘seseorang yang mengingatkan atau mendorong semua makhluk’ (bodheti satvam... sam. Ra. Fol. 25.a,4.)
*      Satwa, boleh berarti ‘jiwa, pikiran, pengertian, kesadaran’. (Pali Dicy. M.W. and Pbg.) Kata Pali Satta boleh juga berarti ‘jiwa’. (Pali Dicy. S. V.) Menurut L. de la Valle Paussin, ahli perumusan bahasa-india juga menjelaskan Satwa sebagai suatu sinonim untuk Citta (pikiran) atau vyavasaya (keputusan, kebulatan tekad).
*      Ahli perkamusan bahasa Tibet menterjemahkan bodhisatwa sebagai ‘byani-chub sems-dpah’ di dalam gabungan ini, byan-chub berarti bodhi, sems berarti ‘pikiran’ atau ‘hati’, dan dpah menandakan ‘pahlawan, orang kuat’ = Skt. Cura, vira)
(Tib.Dicy.Jaschke, 374.b dan 325.b Tib.Dicy.Das, 883.b., 787.b. dan 1276.b.)
Menurut E. J. Eitel, orang Tionghoa menginterpretasikan bhodisatwa sebagai ‘dia yang memiliki intisari telah menjadi bodhi’ (p.34.a)
*      Menurut penulis Har Dayal (The Bodhisatwa Doctrine in Buddhist Sanskrit Literature) Satwa merupakan sebutan yang lebih tepat untuk seorang budha yang sempurna, yang telah merealisasikan bodhi yang tertinggi.
Yoga-Sutra disusun di antara 300-500 M, dan penjelasan-Vasya ditulis dalam periode 650-850 M. Kata bodhisatwa, bagaimanapun juga adalah sama tuanya Pali Nikayas, dari abad ke-4 dan ke-5 SM.
*      Sekarang bodhisatwa, di dalam teks Pali kelihatan mempunyai arti ‘makhluk bodhi’. Tetapi Satta di sini tidak menunjukan suatu makhluk biasa semata-mata. Satta hampir secara pasti berhubungan dengan Vedic kata-satvan, yang berarti ‘Krie-ger’, ‘seorang kuat atau berani, pahlawan, pejuang’. Di dalam cara ini, kita dapat juga mengerti akhirnya ‘dpah’ di dalam persamaan bahasa Tibet. Satwa di dalam bahasa Pali bodhisatwa haruslah diinterpretasikan sebagai ‘makhluk gagah-berani, pejuang-spiritual’.
Kata itu mensarankan dua ide mengenai keadaan hidup dan perjuangan, dan bukan semata-mata gagasan mengenai keadaan hidup yang sederhana.
Kata bodhisatwa sering dipasangkan dengan kata maha-satwa (yang besar/agung).

Cita-cita tertinggi di Mahayana untuk menjadi Bodhisattwa sementara di Hinayana untuk menjadi Arhat hanya memikirkan kelepasan sendiri tidak untuk orang lain, berlainan sekali.[73] Di dalam perjalanan hidupnya yang panjang itu seorang Bodhisattwa tidak akan dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau dalam keadan yang tidak menyenangkan di dunia. Demikian juga seorang Bodhisattwa tidak diharuskan menyangkal dunia ini. Ia menerima keadaan hidup seperti apa adanya. Ia boleh beristri, memiliki kemewahan, dan kekuasaan.[74]
Boddhisattwa adalah yang belum menjadi Buddha atau calon Buddha yang belum mencapai Nibbana.[75] Jadi, kita adalah calon-calon Bodhisattwa.[76] Arahat lebih suci dari Bodhisattwa karena Arahat telah terbebas dari Kilesa (hawa nafsu), dan mencapai Nibbana. Sedangkan Bodhisattwa belum dapat membasmi Kilesa dan belum mencapai Nibbana, masih mengalami kelahiran dan kematian. Tetapi mengenai cita-cita seorang Bodhisattwa lebih tinggi dari seorang Arahat karena seorang Bodhisattwa bercita-cita ingin menjadi Buddha pada masa kehidupan yang akan datang.[77]
Perbedaan besar antara Arahat dan Bodhisattwa ialah bahwa yang pertama bertujuan untuk mendapatkan pencerahan dan kebebasan bagi diri sendri, sedangkan Bodhisattwa ingin menolong semua makhluk dan membawa mereka menuju pencerahan sepenuhnya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas. Untuk melakukan hal ini, walau sudah memenuhi syarat, Bodhhisattwa dengan sukarela meninggalkan Nirwana dan tetap tinggal di dunia untuk menolong semua makhluk semua makhluk, manusia maupun binatang.[78]
Sejak abad pertama Masehi, bakti mempengaruhi Agama Buddha, dan makin lama pengaruh itu semakin kuat.[79] Karena timbulnya unsur penyembahan ini berubahlah keterangan tentang ajaran mengenai tempat perlindungan orang Buddhis. Dalam Mahayana tempat perlindungan itu adalah para Buddha, anak-anak Buddha atau Bodhisattwa dalam arti yang luas dan Dharmakaya. Demikianlah di dalam Mahayana timbul ajaran tentang 'banyak Buddha', yang diuraikan secara mitologis.[80]
Ajaran tentang banyak Buddha dijabarkan dari ajaran tentang Lima skandha, atau Lima unsur yang menyusun hidup manusia.[81] Semula diajarkan bahwa manusia terdiri dari Lima skandha, yaitu:
v  Rupa (tubuh)
v  Wedana (perasaan)
v  Samjna (Pengamatan)
v  Samskara (kehendak, keinginan)
v  wijnana (kesadaran).
Ajaran tersebut diterapkan pada diri Buddha sendiri. Diajarkan, bahwa Buddha juga terdiri dari Lima skandha dan setiap skandha adalah seorang tokoh Buddha atau Tathagata.[82]
Sebagaimana diterangkan di atas, Kelima Tathagata itu ialah Wairoscana (yang menerangi), Aksobhya (yang tenang, tak terganggu), Amitabha (terang yang kekal), Amoghasiddhi (keuntungan yang tidak binasa). Para Thatagata ini berbeda sekali keadannya dengan Buddha yang biasa. Para Tathagata adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi manusia, sedang Buddha yang biasa menjadi manusia.[83]
Lima Doktrin Utama dari Mahayana:[84]
1)      Sehubungan dengan tujuannya, pergeseran dari ide Arahat menjadi ide Bodhisattwa.
2)      Suatu cara pengolahan diri, yang menitikberatkan pada maitri-karuna yang sejajar dengan Prajna yang ditandai dengan Sad-Paramitha.
3)      Kepercayaan atau Sraddha yang diberikan terhadap suatu jumlah Hyang Tathagata, Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha, para Bodhisattwa, para Dewa, orang-orang Mulia dan suci.
4)      Menerapkan metode Upaya-Kausaya.
5)      Doktrin mengenai Sunyata, Tathagata, dsb.


KESIMPULAN

Pencerahan batiniah melampaui keduniawian adalah tujuan agama Buddha, karena tanpa Pencerahan di sana seorang buta meraba-raba di salam kegelapan. Dan ketika pencerahan terjadi, belas kasih pasti mengalir keluar; manusia pasti belajar mencintai sesamanya; dan peperangan, eksploitasi terhadap manusia dan binatang, kemarahan, kebencian, dan hawa nafsu pasti berakhir. [85]
Kalau kita memiliki pengertian dan pikiran yang benar, maka kita akan dapat menjadi bijaksana.
Kalau kita telah bijaksana, maka kita akan dapat berkata, berbuat dan bermata pencaharian yang benar.
Kalau kita telah dapat berkata dan bermata pencaharian yang benar, maka kita akan menjadi manusia susila......[86]


DAFTAR PUSTAKA

*      Ali, Mukti. Agama-agama Dunia. Editor Drs. Djam’annuri, M.A. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
*      Hadikusuma,Hilman. Antropologi Agama. - : PT. Citra Aditya Bakti. 1983
*      Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta : Gunung Mulia. Cet. 17. 2010
*      Hansen, Upa. Sasanasena Seng . Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta: Vidyasena Production.   Cet. Ke-2. 2008
*      Honig, A. G. Jr. Ilmu Agama. Terjemahan M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto. Jakarta : Gunung Mulia. Cet. 8. 1997
*      Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Depok : Bromo fc
*      Suzuki, Beatrice Lane. Agama Buddha Mahayana. Terjemahan Hustiati. - : Karaniya. 2009
*      Tanggok, M. Ikhsan. Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2009
*      T. Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta : Majelis Buddha Mahayana Indonesia. 1995
*      Widyadharma, Maha Pandita Sumedha. Dhamma-Sari. Jakarta : Yayasan Kantaka Kencana. Cet. 2. 1990


                [1] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama. ( - : PT. Citra Aditya Bakti, 1983).h.207
                [2] M. Ikhsan Tanggok. Agama Buddha. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009).h.v
                [3] Mukti Ali. Agama-agama Dunia. Editor Drs. Djam’annuri, M.A. (Yogyakarta : IAIN Sunan
                  Kalijaga Press, 1988). h.101
                [4] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha. (Yogyakarta : Vidyasena Production,
   2008). h. 1
                [5] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha. (Yogyakarta : Vidyasena Production,
                  2008). h. 2
                [6] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha. (Yogyakarta : Vidyasena Production,
                   2008). h. 2
                [7] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha. (Yogyakarta : Vidyasena Production,
                   2008). h. 3
                [8] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha. (Yogyakarta : Vidyasena Production,               2008). h. 3
                [9] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 64
                [10] Ibid. h. 65
                [11] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
                   Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.8
                [12] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
                   Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.9
                [13] Ibid.
                [14] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 65
                [15] A. G. Honig Jr. Ilmu Agama. Terjemahan M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto. (Jakarta :
                   Gunung Mulia, Cet. 8, 1997).h.170
                [16] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Op.cit. h.9
                [17] A. G. Honig Jr. op.cit. h.167
                [18] Harun Hadiwjono. Op.cit. h. 65
                [19] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
                   Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.9
                [20] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 66
                [21] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
                   Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.12
                [22] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 66
                [23] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [24] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [25] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [26] M. Ikhsan Tanggok. Agama Buddha. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009).h.viii
                [27] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 66
                [28] Harun Hadiwjono. Ibid. 67
                [29] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [30] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [31] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama. ( - : PT. Citra Aditya Bakti, 1983).h.210
                [32] Harun Hadiwjono. Op.cit. h. 67
                [33] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 68
                [34] Mukti Ali. Agama-agama Dunia. Editor Drs. Djam’annuri, M.A. (Yogyakarta : IAIN
                  Sunan Kalijaga Press, 1988). h.103
                [35] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [36] Harun Hadiwjono. Ibid. h. 69
                [37] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [38] A. G. Honig Jr. Ilmu Agama. Terjemahan M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto. (Jakarta :
                   Gunung Mulia, Cet. 8, 1997).h.165
                [39] Harun Hadiwjono. Op.cit. h.  70
                [40] A. G. Honig Jr. Ilmu Agama. Terjemahan M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto. (Jakarta :
                   Gunung Mulia, Cet. 8, 1997).h.166
                [41] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 71
                [42] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [43] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [44] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [45] Harun Hadiwjono. Ibid. h. 72
                [46] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 72
                [47] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.15
                [48] Harun Hadiwjono. Op.cit. h. 69
                [49] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 83
                [50] Harun Hadiwjono. Ibid. 85
                [51] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.15
                [52] Majelis Buddhayana Indonesia. Ibid.
                [53] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.19
                [54] Beatrice Lane Suzuki. Agama Buddha Mahayana. Terjemahan Hustiati. ( - : Karaniya, 2009).h.54
                [55] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama. ( - : PT. Citra Aditya Bakti, 1983).h.223
                [56] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.338
                [57] Ibid.
                [58] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.339
                [59] Ibid.
                [60] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.340
                [61] Ibid.
                [62] Ibid.
                [63] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama. ( - : PT. Citra Aditya Bakti, 1983).h.224
                [64] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.345
                [65] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama. ( - : PT. Citra Aditya Bakti, 1983).h.224
                [66] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.336
                [67] Suatu keadaan dimana manusia telah terbebas dari persoalan kematian dan kelahiran.
                [68] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.336
                [69] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 91
                [70] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.342
                [71] Harun Hadiwjono. Ibid. h. 92
                [72]Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
                   Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.133-135
                [73] Harun Hadiwjono. Ibid
                [74] Harun Hadiwjono. Ibid. h. 93
                [75] Majelis Buddhayana Indonesia. Op.cit. h. 44
                [76] Beatrice Lane Suzuki. Agama Buddha Mahayana. Terjemahan Hustiati. ( - : Karaniya,
                   2009).h.66
                [77] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.44
                [78] Beatrice Lane Suzuki. Agama Buddha Mahayana. Terjemahan Hustiati. ( - : Karaniya,
                   2009).h.67
                [79] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 93
                [80] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [81] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [82] Harun Hadiwjono. Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 17, 2010).h. 94
                [83] Harun Hadiwjono. Ibid.
                [84] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto
                   T.  (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.96
                [85] Beatrice Lane Suzuki. Agama Buddha Mahayana. Terjemahan Hustiati. ( - : Karaniya,
                   2009).h.163
                [86] Maha Pandita Sumedha Widyadharma. Dhamma-Sari. (Jakarta : Yayasan Kantaka
                   Kencana, Cet. 2, 1990). h.iv - Ungkapan Buddha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar