Kamis, 30 Mei 2013

TILAKKHANA DAN PATICCA SAMUPPADA


PENGERTIAN TILAKKHANA DAN PATICCA SAMUPPADA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh :
Ratna Hldya Astuti     (1111032100033)

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
PENDAHULUAN

            Dari latar belakang sejarah bagaimana terjadinya Sidharta Gautama menjadi Budha, maka ajaran Buddha tidak bertitik tolak dari ajaran ketuhanan, melainkan berdasarkan kenyatan-kenyataan hidup yang dialami manusia, yang mana kehidupan manusia itu tidak terlepas dari ‘dukkha’ maka yang penting adalah bagaimana caranya membebaskan diri dukkha tersebut.[1]

A.    Pengertian Tilakhana
Tilahana ini termasuk ilmu pengetahuan dalam. Ilmu pengetahuan dalam ini disebut PARINNA. Ada tiga macam parrina yaitu:[2]
1.      NATA PARRINA : pengetahuan dalam yang telah dimengerti.
2.      TIRANA PARRINA : pengetahuan dalam yang di bahas.
3.      PAHANA PARRINA : pengetahuan dalam tentang pembersihan.

NATA PARRINA ialah ilmu pengetahuan dalam yang telah dimengerti, dipahami dan dilaksanakan serta telah dihayati dalam penghidupan. Karena nata parrina ini telah dilaksanakan dan dialami sendiri maka nata parrina dapat membedakan tentang baik dan buruk dengan tajam sekali dan juga dapat mengetahui perbedaan jasmani dan batin, dengan bermacam-macam kedaan dan sebab-musabab terjadinya secara langsung.
Yang telah memiliki nata parrina adalah SANG BUDDHA ketika beliau mencapai ABHINNA dan juga para Arahat. ABHINNA adalah pengetahuan dalam yang berada diluar pengetahuan manusia biasa.
TIRANA PARRINA adalah pengetahuan dalam dan sempurna, yang membahas tentang segala sesuatu yang bersifat sementara, tidak kekalselalu berubah, baik dalam bentuk lahir (jasmani) maupun batin.
PAHAN PARRINA adalah pengetahuan dalam sempurna tentang pembersihan atau pengusiran. Terdapat lima macam pahana atau lima macam cara untuk membersihkan bathin.
Lima macam pahana itu ialah :

1.      TANDANGA PAHANA, cara membersihkannya dengan menggunakan obyek-obyek yang berlawanan.
2.      VIKKHAMBHANA-PAHANA, cara mengusirnya dengan jalan mencapai Jhana-Jhana dalam meditasi ketenangan.
3.      SAMUCCHEDA PAHANA, hancurnya kekotoran batin, karena telah dijalani jalan kesucian.
4.      PATIPASSADDHI PAHANA, hancurnya batin setelah tercapainya ketenangan, dan kesucian.
5.      NISARANA PAHANA, pembebasan terakhir dari kekotoran batin karena telah tercapainy NIBBANA.

Tilakhana artinya Tiga corak yang Universal dan ini termasuk Hukum Kesunyataan, berarti hokum ini berlaku dimana-mana dan pada setiap waktu. Jadi Hukum ini tidak terikat oleh waktu dan tempat.[3]  Tiga corak umum yaitu:[4]
a.       Anicca : semua bentuk yang berkondisi adalah tidak kekal
b.      Dukha : semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna
c.       Anatta: semua bentuk yang terkondisi dan bentuk yang tidak terkondisi adalah tanpa “AKU”

Anitiya: artinya itu semua bentuk yang terkondisi adalah tidak kekal atau selalu berubah-ubah. Segala benda yang ada atau sudah terbentuk pasti berubah. Anitya adalah suatu karakteristik mengenai semua existen si keduniawian, adalah kenyataan-kenyataan empiric. Dan Anitya adalah doktrin Hyang Buddha mengenai ketidak kekalan dari semua bentuk yang terkondisi.

Dukha: semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna. Segala sesuatu yang tidak kekal menimbulkan penderitaan, atau penderitaan terjadi karena adanya perubahan yang terus menerus. Segala sesuatu pasti berubah cepat atau lambat atau terus menerus dan kemudian menjadi lapuk atau rusak. Contoh: Tubuh kita tidak sehat oleh karenanya kita menjadi sehat. Dan istilah Dukha ini juga digunakan dalam tradisi agama Buddha mengenai Hukum Tilkhana (Tri Laksana).[5]

Dalam hal ini YMS Buddha Goatama menggunakkan Hukum Paticca Samuppada untuk menerangkan timbulnya Dukkha, yaitu kelahiran, kelapukan, kesengsaraan dan sebagainya.[6]

Yang menimbulkan Dukkha menurut hukum paticca samuppada yaitu :
1.      TANHA DI IKUTI OLEH UPADANA
Tanha yaitu keinginan kehausan atau kerinduan, dan Upadana yaitu kemelekatan  atau ikatan,untuk mencapai sesuatu yang di inginkannya.
2.      UPADANA DIIKUTI OLEH BHAVA
     Bhava sesungguhnya yang berarti terbentuk dan disini di artikan sebagai terbentuknya yang bererti terbentuknya proses kehidupan kita, Maka bergantung kepada Upadana terbentuknya proses kehidupan kita ( proses kamma ).
3.      BHAVA DIIKUTI OLEH JATI, JARAMARANA
Jika Bhava (proses kehidupan atau arus penjelmaan) ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia tua, kematian, mengalami sukses dan kegagalan, harapan dan kekecewaan; dengan demikian timbullah segala macam penderitaan.

            Manusia selalu berada dalam dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha.
Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudya,yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berapa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan hawa nafsu.

Kata anatma berarti tiada jiwa. Ajaran ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran anitya, yang mengajarkan bahwa tiada sesuatu yang tidak berubah. Jika tiada sesuatu yang tidak berubah maka juga tiada jiwa yang kekal.[7]

Anatma dapat juga diterangkan dalam 3 tingkatan yaitu;[8]
1.      Tidak perlu mementingkan diri sendiri. Contoh; terlalu egoistis
2.      Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja, termasuk tubuh jasmani dan pikiran kita supaya tetap seperti apa yang kita inginkan .
3.      Bila tingkat pengetahuan tinggi telah dicapai dan telah memperaktekan akan mengetahui dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa “Aku”, atau tanpa pribadi.

Anatma adalah Doktrin agama Buddha bahwa tidak terdapat suatu kekekalan “Aku” (Atta) yang terdapat di dalam tiap-tiap individu manusia.

Ajaran agama Buddha mengenai pokok ini adalah suatu penyangkalan atau penolakan mengenai kenyataan dari aku atau jiwa yang mendiami individu.suatu kesatuan yang lahir dengan masing - masing tahan lama di mana perantara dari tindakan tindakan individu[9].
Doktrin mengenai Anatma dianggap di dalam tradisi agama Buddha sebagai kebenaran yang paling mengenai segala - galanya untuk di pahami karena dugaan mengenai suatu ‘’ Aku ’’ yang kekal  adalah berakar  sangat dalam di dalam kebiasaan - kebiasaan  pemikiran sehari-hari.




B.     Pattica Sammuppada
Paticca Samuppada memberikan arti: Timbul atas dasar dari suatu sebab sebelumnya, terjadi dengan cara dari sebab kejadian sebab-musabab, ketergantungan asal mula.[10]

Ø  Bunyi hukum pattica sammuppada [11]
Paticca samuppada terdiri atas: PATICCA artinya DISYARATKAN dan kata SAMUPPADA artinya MUNCUL BERSAMAAN. Jadi perkataan paticca samuppada artinya kurang lebih yaitu MUNCUL BERSAMAAN KARENA SYARAT BERANTAI, atau terjemahan yang sering terlihat dalam buku-buku, yaitu “POKOK PERMULAAN SEBAB AKIBAT YANG SALING BERGANTUNGAN”

            Paticca samuppada merupakan penjelasan tentang proses kelahiran dan kematian, ia berhubungan dengan sebab tumimbal lahir dan penderitaan, dengan pengharapan membantu manusia membebaskan diri dari penderitaan hidup.[12]
Prinsip dari ajaran hukum patticasammuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang berbunyi  sebagai berikut :

                               I.            Dengan adanya ini,maka terjadilah itu.
                            II.            Dengan timbulnya ini,maka timbullah itu
                         III.            Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
                         IV.            Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.

berhentinya hidup telah diterangkan dalam satu rumus/formula dari dua balas pokok yang dikenal sebagai patticasammuppada.
Kedua belas pokok itu berbunyi sebagai berikut :[13]
1)      Avijja Paccaya Sankhara
dengan adanya ketidak tahuan,maka terjadilah bentuk- bentuk kamma.
2)      Sankhara Paccaya Vinnanang
dengan adanya bentuk bentuk kamma ,maka terjadilah kesadaran.
3)      Vinnana Paccaya Namarupang
dengan adanya kesadaran, maka terjadilah rohani jasmani.
4)      Namarupa Paccaya Salayatanang
dengan adanya rohani jasmani, maka terjadilah enam landasan indriya .
5)      Salayatana Paccaya Phasso
dengan adanya enam landasan indriya, maka terjadilah kontak/kesan- kasan
6)      Phassa Paccaya Vedana
dengan adanya  kontak/kesan, maka terjadilah perasaan .
7)      Vedana Paccaya Tanha
dengan adanya persaan ,maka terjadilah keinginan/kehausan.
8)      Tanha paccaya Bhavo
dengan adanya tanha, maka terjadilah kemelekatan.
9)      Upadana Paccaya Bhavo
dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses penjelmaan.
10)  Bhava Paccaya Jati
dengan adanya proses penjelmaan, maka terjadilah kelahiran.
11)  Jati Paccaya Jaramaranang
dengan adanya tumimbal- lahir, maka terjadilah kelapukan, keluh kesah, sakit, kematian, dll.
12)  Jara-Marana
kematian, kelapukan, keluh kesah, sakit
, dll,sebagai akibat dari tumimbal- lahir.
Dengan terhentinya seluruh ketidak tahuan, maka terhentilah pula bentuk-bentuk karma; dengan terhentinya baentuk-bentuk kamma, maka terhentilah pula kesadaran, dengan terhentinya tumimbal lahir maka terhentilah pula kematian, kelapukan, kesedihan dll.

Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus- menerus. Jika kita ambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, maka sampailah kepada penghentian dari proses.
 Hyang Buddha Shakyamuni menerangkan hukum sebab- musabab yang saling bergantungan ini dalam suatu rangkaian yang terdiri dari 12 (dua belas) rantai. Yaitu kondisi-kondisi dan sebab-musabab yang saling bergantungan  dari penderitaan manusia dan pengakhirannya.[14]
Dengan memahami seluruh fenomena kehidupan ini Agama Buddha memandangnya sebagai suatu lingkaran dari kehidupan, yang tidak dapat diketahui permulaan dan akhirnya.
Pattica sammuppada ini adalah untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya, dimana tidak ada Sesuatu timbul tanpa sebab.
 Ajaran ini dimaksudkan sebagai imbangan dari ajaran Anatta. Ajaran Anatta ini bekerja secara analisa dan membentangkan tentang keadaan di dalam unsure-unsur bagiannya yang terakhir, didalam gejala-gejala yang benar-benar kosong, tanpa jiwa.[15]

Ø  Pattica Samuppada bersifat ilmiah
Pokok permulaan Sebab-Akibat yang saling bergantungan atau muncul bersamaan karena syarat-syarat yang saling bergantungan; yang dapat dinyatakan dengan: “bergantungan kepada ini, maka timbullah itu”[16]
           
Seluruh alam semesta ini dikuasai oleh hukum Pattica Samuppada dan sebagai contohnya yaitu:
Oleh karena adanya awan di angkasa mendung, maka turunlah hujan. Bekerjanya Hukum paticca samuppada seperti halnya dalam contoh rangkaian diatas, dimana kita lihat, bahwa suatu kejadian selalu bergantung kepada kejadian yang mendahuluinya; dan selalu menimbulkan kejadian lain pula yang mengikutinya.

KESIMPULAN
            Proses sebab dan akibat ini berlangsungan terus menerus. Awal pertama proses ini tak bisa ditentukan karena tidaklah mungkin untuk membayangkan suatu saat ketika aliran kehidupan ini tidak diliputi ketidak tahuan. Tetapi jika ketidak tahuan ini diganti dengan kebijaksanaan dan aliran kehidupan ini memahami Nibhana Dhatu, pada swaat itulah proses tumimbal lahir berakhir.

DAFATAR PUSTAKA
o   Ali, Mukti. Agama-agama Dunia. Editor Drs. Djam’annuri, M.A. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
o   Diputhera, Oka. Pedoman penerangan agama Buddha. Jakarta: Yayasan Sariputra Sadono. 1977
o   Hadikusuma,Hilman. Antropologi Agama. - : PT. Citra Aditya Bakti. 1983
o   Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta : Gunung Mulia. Cet. 17. 2010
o   Honig, A. G. Jr. Ilmu Agama. Terjemahan M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto. Jakarta : Gunung Mulia. Cet. 8. 1997
o   Mahathera, Narada. Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya.. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.
o   Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Depok : Bromo fc
o   Suzuki, Beatrice Lane. Agama Buddha Mahayana. Terjemahan Hustiati. : Karaniya. 2009
o   T. Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta : Majelis Buddha Mahayana Indonesia. 1995








[1]  Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama. ( - : PT. Citra Aditya Bakti, 1983).h.217
[2]  Diputhera, Oka. Pedoman penerangan agama Buddha. Jakarta: Yayasan Sariputra Sadono. 1977. h.161-165

[3] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.225
[4]        Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.59
[5]        Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.61
[6]        Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.244-255

[7] Harun Hadiwjono. Ibid. h. 74-75
[8]         Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.61
[9]         Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.62
[10]        Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.63
[11]        Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.272
[12] Mahathera, Narada. Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya.. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama. h. 112
[13]        Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.272-273

[14]        Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.63
[15]         A. G. Honig Jr. Ilmu Agama. Terjemahan M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto. (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 8, 1997).h.209
[16] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.2780


Tidak ada komentar:

Posting Komentar