Kamis, 06 Juni 2013

Notulensi Zen Buddhisme


Notulensi “ Zen Buddhisme
Oleh: Ika Wahyu Susanti/ PA/ 4/ B


Ø  Zen, merupakan ajaran tentang meditasi yang menuntut untuk dipraktikkan bukan dibicarakan atau dikaji dalam ceramah-ceramah keagamaan. Maksudnya adalah meninggalkan ketergantungan pada kata, aksara, dan bahasa dan memulai pemahaman dengan hati.
Ø  Secara Harfiah, kata Zen merupakan bahasa Jepang dari Ch’an dalam bahasa Cina. Ch’an sendiri merupakan penyebutan Dhyana dalam bahasa Cina. Jadi Zen merupakan perkembangan dari sekte Dhyana di India. Dhyana berarti meditasi.
Ø  Zen Buddhisme memfokuskan dirinya pada pencapaian pencerahan (Bodhi) melalui meditasi sebagaimana yang dilakukan oleh Siddharta Gautama. Zen meyakini bahwa setiap manusia memiliki sifat kebuddhaan alamiah atau potensi untuk mencapai pencerahan.
Ø  Tradisi meditasi atau dhyana yang berkembang adalah Yoga. Sang Buddha telah mempraktikkan Yoga selama 12 tahun setelah ia meninggalkan kehidupan duniawi. Faktanya, ia tidak menemukan apa-apa setelah mempraktikkan Yoga.
Ø  Pada dasarnya, sifat dasar yoga untuk meng-kontemplasikan spirit di satu poin tertentu yaitu:
pencapaian ketenangan dengan duduk bermeditasi.
Ø  Sang Buddha mengabaikan pertapaan, duduk diam, menyilangkan kakinya dan memperhatikan nafasnya. Selama pemulaan dari delapan hari Zazen, ia mencapai level kesadaran tertinggi menyamai sinar bintang. Sang Buddha menemukan keberadaan alaminya pada alam semesta dan sebuah aturan untuk seluruh umat manusia.
Ø  Zen dibawa ke Cina oleh Boddhidharma. Boddhidharma kemudian mentransmisikan (mewariskan mind-to-mind) kebuddhaan kepada murid-muridnya di Cina. Sesepuh Zen di Cina ada enam, yakni Boddhidharma, Hui K’o, Seng Ts’an, Tao Hsin, Hung Jen, dan Hui Neng.
Ø  Zen tersebar dengan cepat melalui Sesepuh Cina yang ke-6, Hui Neng (Eno). Setelah Eno, terdapat bunga kelopak lima berkembang. Ekspresi Zen ini berarti Zen terbuka seperti sebuah bunga dengan lima kelopak dan menyebar luas seantero negeri, terima kasih kepada kelima aliran yang muncul dari garis keturunan spiritual Eno (Hui Neng). Kelima aliran tersebut adalah Igyo, Hongen, Soto, Unmon, dan Rinzai.
Ø  Di Tiongkok (Cina) madzhab Mahayana berinteraksi dengan Taoism dari Lao Tze (604-531 SM) dan dengan Cofucianism dari Kong Fu Tze (551-479) dan di Jepang berinteraksi dengan Shintoisme. Bentuk interaksi ini positif dan negatif, artinya Buddha saling bersinggungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di Cina dan di Jepang, yang dalam perjalanan sejarah mempengaruhi alirang-aliran Buddha Mahayana di Cina dan Jepang.
Ø  Kelima aliran Zen ini, hanya tiga yang juga berkembang mencapai Jepang: Soto, Rinzai, Obaku (yang terakhir merupakan cabang dari aliran Rinzai). Dua yang lainnya mati di Cina.
Ø  Zen telah mempengaruhi kehidupan keseharian orang-orang Jepang. Pengaruh ini dapat dilihat pada kehidupan Jepang seperti: Makan, berpakaian, kaligrafi, arsitektur, teater, musik, taman, dekorasi dan lain sebagainya.
Ø  Zen Buddhisme tidak terikat oleh segala macam teori ajaran, yang penting adalah pengertian dan intuisi serta meditasi, tetapi Sutra-Sutra berikut ini dijadikan sebagai teori dalam Zen Buddhisme:
a.                   Surangama Sutra
b.                  Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra,
c.                   Lankavatara Sutra,
d.                  Vimalakirti-Nirdesa Sutra,
e.                   Sutra Altar oleh Hui Neng (The Platform Sutra of The Sixth Patriarch)
Ø  Zen Buddhisme menerapkan Meditasi, yaitu Samatha Bhavana dan Vipasyana Bhavana.
Ø  Filsafat Zen Buddhisme juga membahas tentang Sunyata. Sebagaimana dijelaskan dalam Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra, bahwa hati dan pikiran kita, janganlah terikat dengan Anitya, Dukkha, dan Anatman. Segala sesuatu yang bersyarat di alam fenomena ini tidaklah kekal atau terus berubah dan tidak pasti, demikian juga seperti perasaan dan pikiran kita, jika terikat pada perasaan dan pikiran kita, seandainya perbuatan baik yang telah dilakukan sedangkan karma baik atas perbuatan baik kita itu tidak langsung berbuah, bukankah itu akan sangat mengecewakan?[1]
Ø  Tujuan utama dari sekte Zen atau Ch’an bukanlah hanya duduk bermeditasi, melainkan membina kesadaran pada diri kita sendiri atau membuka kesadaran diri kita sendiri untuk mencapai ‘U’ (Satori).
Ø  Aliran Zen yang berbeda, diantaranya adalah Rinzai dan Soto—dua yang utama—menemukan kembali beberapa metode untuk mencapai pencerahan, termasuk mempraktikkan zazen (“hanya duduk” bermeditasi).
Ø  Pemahaman terhadap kitab suci, merupakan kunci awal mempelajari Zen. Dalam vihara-vihara Zen, tak jarang isi-isi kitab suci seperti Sutra Intan, Sutra Altar dan lain sebagainya, dihafalkan di luar kepala. Tanpa kitab suci, kita tidak akan memahami apa yang kita—sebagai Buddhis dan termasuk pengikut-pengikut Zen di dalamnya—sedang coba dapatkan dan bagaimana cara mendapatkannya.
Ø  Dalam tradisi Zen, terdapat empat macam pewarisan ilmu tersebut, yaitu:
a.       Transmisi Ordinasi, Terdapat tiga jenis ordinasi: Upasaka-upasika; bhikshu-bhikshuni; dan Bodhisattva. Baik bhikshu maupun bhikshuni, meninggalkan kehdiupan duniawi, mengabdikan seluruh kemampuan mereka untuk penyadaran Nirvana, dan menaati 150 sila. Empat pasal yang paling utama adalah:
1.      Tidak melakukan hubungan seks;
2.      Pencurian;
3.      Pembunuhan dan mendorong tindakan bunuh diri, dan
4.      Menyatakan dengan tidak benar pencapaian spiritual tertentu.
b.      Transmisi Kitab Suci, Mempelajari kitab suci seorang diri tidaklah ckup. Seseorang pda waktu yang sama harus mempelajari interpretasi yang benar, di bawah bimbingan seorang guru dari “silsilah pewarisan”.
c.       Doktrine adalah sitematis ajaran seperti yang terdapat dalam kitab suci. Yang terdiri atas Lima Agregrat, Sembilan Orang Suci, Dua Belas Mata Rantai, dan seterusnya.
d.      Transmisi Jiwa Agama Buddha, Menurut tradisi buddhis sang Buddha pernah suatu waktu duduk dikelilingi sekumpulan besar siswa-siswaNya. Beratus-ratus Bodhisattva dan Arahat, Bikshu-biksuni, serta Upasaka-upasika hadir bersama-sama dengan berbagai kelompok makhluk-makhluk surgawi.Semuanya diam, menunggu Sang Buddha bersabda. Tapi pada kesempatan ini, bukannya mengeluarkan kata-kata, ditengah keheningan Sang Bhagava hanya mengangkat sekuntum bunga berwarna emas… Hanya Mahakasyapaa, satu diantara siswa-siswa tertua—yang termahsyur karena kesederhanaanya—mengerti makna perbuatan Sang Buddha, dan ia tersenyum. Sang Buddha kemudian bersabda, “Aku yang memiliki Mata dari Dharma yang luar biasa, yakni Nirvana, Kesadaran, misteri realita dan non-realita, serta pintu gerbang kebenaran transenden. Aku sekarang menyerahkannya kepada Mahakasyapa.” Inilah yang dimaksud dengan transmisi.[2]
Ø  Dalam sutera Intan tertulis empat jenis Zen, yaitu:
1.      Zen/ Ch’an Tathagata (Metode-metode Klasik dari konsentrasi)
Seperti menghitung nafas dan menungmbuhkan semangah kasih universal yang telah diajarkan oleh Buddha Gautama dan secara umum di praktikkan oleh semua bentuk agama Buddha, termasuk Zen. [3]
2.      Ch’an dari Sesepuh
Yakni Ch’an dari Hui Neng, seseuph Cina keenam dari aliran Zen. Ini merujuk pada ajaran dari Sutra Altar tentang kesatuan atau dengan kata lain ketidakterpisahan samadhi dan prajna. Samadhi merupakan inti dari Prajna, dan Prajna adalah aktivitas dari Samadhi. Pada saat kita mencapai Prajna, Samadhi telah ada bersamanya dan begitu juga sebaliknya… seorang murid seharusnya tidak berpikir bahwa terdapat pemisah aantara ‘Samadhi dari Prajna’ dan ‘Prajna dari Samadhi’.” (Sutra Wei Lang, halaman 46)[4]
3.      Ch’an Turunan
Merupakan Ch’an yang diajarkan oleh keturunan spiritual dari Sesepuh Hui Neng, khususnya dari guru besar generasi keempat, kelima, keenam, dan ketujuh yang menjadi para pendiri Lima “Sekte” Ch’an di Cina. Jika Ch’an Tathagata dan Ch’an dari Sesepuh adalah India dalam bentuknya, maka Ch’an Turunan berkarakteristik Cina. Ch’an dari tipe ini mencoba mengalami pencerahan dengan cara yang lebih langsung dan konkret dengan bantuan kata-kata, kalimat-kalimat, dan tindakan-tindakan yang kelihatannya eksentrik dan lucu. Ini semua adalah apa yang terkenal sebagai kung-ans (dari kata Jepang koans: secara harfiah berarti “catatan-catatan publik”) atau “sebab-sebab bersamaan” dari Pencerahan, seperti teriakan yang tiba-tiba, tertawa yang tidak semena-mena, atau satu pukulan tongkat.[5]
4.      Ch’an Wacana
Ini adalah aliran Ch’an dari orang-orang yang hanya berbicara tentang Ch’an atau menulis buku dan artikel tentangnya, tetapi tidak pernah berusaha mempraktikkannya.
Ø  Secara umum, koan berarti masalah atau teka-teki, tetapi permasalahan dalam pandangan Zen adalah hal yang sangat menakjubkan bagi pikiran yang sadar. Koan biasanya terdiri daru satu kata tau frasa yang seolah tanpa makna atau pernyataan ‘omong-kosong’ dalam pandangan awam. Akan tetapi, kan telah mengembangkan kekuatan konsentrasi, seorang pelaku Zen dapat memfokuskan perhatiannya pada koan sebagai sebuah objek meditasi. Karena koan tidak dapat diselesaikan melalui penjelasan logis, introspeksi terhadap koan didisain sebagai jalan pintas proses intelektual yang berakhir pada realisasi yang sebenarnya.
Ø  Zazen merupakan inti dari ajaran praktis Zen Buddhisme. Tujuan dari zazen hanyalah duduk, “membuka pikiran”. Ini dilakukan untuk menginterpretasi koan dan dipraktikkan oleh baik Rinzai dan Soto dengan metode Shikantaza (whole-hearted sitting).[6]
Ø  Postur zazen adalah duduk, dengan melipat kaki dan tangan dan punggung yang tegak tetapi tenang dan kuat. Kaki yang terlipat merupakan standar yang baik dari gaya duduk. Dan tangan-tangan yang terlipat menjadi satu merupakan simbol dari sebuah mudra sederhana di sekitar perut. Pada beberapa praktik, seseorang bernafas melalui hara (pusat gravitasi dalam perut) dan kelopak mata separuh tertutup, mata tidak sepenuhnya tertutup dan pada saat yang sama tidak juga terbuka.[7]
Ø  Di jepang, duduk zazen secara tradisional dilakukan pada sebuah tatakan yang disebut zabuton dan menduduki sebuah bantal kecil yang disebut zabu. Posisi-posisi yang biasa dilakukan ketika duduk di atas zafu adalah:
a.       Kekkafuza (full lotus-teratai penuh)
b.      Hankafuza (half lotus-teratai separuh)
c.       Burmese (kaki bersilang, postur ketika pergelangan kaki diletakkan bersama didepan tubuh)
d.      Seiza (posisi berlutut menggunakan bangku kecil atau zafu)
Ø  Secara umum, praktik zazen diajarkan melalui salah satu dari ketiga jalan, yaitu:
1.      Konsentrasi
2.      Introspeksi Koan
3.      Shikantaza (hanya duduk)
Ø  Sehari dua kali, setiap bhiksu menemui master-nya (guru-nya) dalam pertemuan pribadi untuk “berkonsultasi yang berkaitan dengan meditasi”—disebut sanzen di aliran Rinzai dan dokusan di aliran Soto.
Ø  Satori merupakan versi Zen dari pengalaman mistis, yang, apa pun bentuk penampakannya akan membawa kegermbiraan atau kesenangan, pada ke-satu-an, dan pada sebuah perasaan tentang realitas yang tak dapat diuraikan dalam bahasa.
Ø  Satu hal yang paling penting dari Zen adalah bahwa Zen tidak mengizinkan ruh manusia menarik diri sepenuhnya pada level spiritual atau metafisik sepenuhnya.
Ø  Objek Zen adalah untuk memasukkan sesuatu yang temporal pada keabadian—untuk memperlebar pintu-pintu persepsi sehingga keajaiban dari pengalaman satori dapat mengalir setiap hari ke dunia.
Ø  Terdapat tiga aliran Zen di Jepang yang berkembang pada era Kamakura, yaitu (1) Sekte Rinzai, diperkenalkan dari Cina oleh Eisai pada 1191; (2) Sekte Soto, diperkenalkan oleh Dogen dari Cina pada 1227; dan (3) Sekte Fuke didirikan oleh Kakushin pada 1255.[8] Tradisi ke keempat, yang dikenal sebagai Sekte Obaku, didirikan oleh seroang biarawan Cina, Ingen, pada 1654.
Ø  Eisai (1141-1215) mengkombinasikan dalam dirinya sendiri pendirian sosial dan keberagamaan dari Heian dan Kamakura.
Ø  Rinzai, aliran ini didirikan oleh Eisai, untuk mempelajari tradisi sebenarnya dari Tendai, Eisai mengunjungi Cina pada tahun 1168 dan menjadi tertarik pada Ch’an. Sekali lagi ia belajar di Cina pada tahun 1187-1191, mempelajari ajaran-ajaran lanjutan dari Ch’an.
Ø  Tradisi Rinzai menekankan pada kensho, penglihatan batin terhadap sifat alami seseorang (one’s true nature). Hal ini dilanjutkan dengan sesuatu yang disebut praktik post-satori, kelanjutan dari praktik-praktik sebelumnya untuk mencapai Kebuddhaan.
Ø  Selain itu, tradisi Rinzai juga menekankan pada interpretasi terhadap koan (paradoxical statement) yang hanya dapat diakses oleh para pencari yang sebenarnya (the serious seekers).
Ø  Soto, Ddalam beberapa hal, Dogen sangat berbeda dengan Eisai. Dilahirkan dari sebuah keluarga dari garis keturunan terhormat, Dogen mengalami tragedi kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat muda. Menyadari kefanaan dunia ini, pada usia 13 tahun, Dogen memasuki Biara Tendai di Pegunungan Hiei.
Ø  Pada 1223, Dogen pergi ke Cina, masih dengan misi yang sama, mencari seseorang yang benar-benar telah mencapai pencerahan, dan pada kesempatan itu ia bertemu dengan Ju-ching, seorang Master Ch’an pada Biara T’ien-t’ung. Dibawah bimbingan Ju-Ching, Dogen mencapai “pencerahan”. Kemudian ia kembali ke Jepang pada tahun 1227, mencoba mentransmisikan capaian penglihatan batin barunya tanpa membangun sekte yang baru. Bagaimana pun tradisinya dengan cepat membentuk satu sekte atau aliran independen yang dikenal dengan Soto
Ø  Aliran Soto ini menekankan pada praktik Shinkataza, yaitu sekedar duduk. Istilah ini pertama kali digunakan oleh guru dari Dogen dan secara literal berarti, “nothing but (shikan) precisely (da) sitting (za).” Dengan kata lain, maksud Dogen adalah, “hanya melakukan zazen dengan sepenuh hati” atau “menyatukan pikiran dalam duduk”.

Daftar Pustaka
Kitagawa, Joseph. M. Religion in Japanese History. 1966. New York: Columbia University Press.
Nakamura, Hajime. Buddhism in Comparative Light. 1975. New Delhi: Islam and the Modern Age Society.
Suwarto, Drs. Buddha Dharma Mahayana. 1995. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya. Kitagawa, Joseph. M. Religion in Japanese History. 1966. New York: Columbia University Press.
Suwarto, Drs. Buddha Dharma Mahayana. 1995. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.





[1] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayan. Hlm: 480
[2] Ibid. hlm:33
[3] Ibid. hlm:13
[4] Ibid. hlm:14
[5] Ibid. hlm: 16
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Zazen
[7] An article “Zazen” taken from http://www.bodhizendo.org/zazen.htm
[8] Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. New York and London: Columbia University Press, hlm123. Terjemah oleh Fathimah al-Batul A. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar