Kamis, 30 Mei 2013

Hinayana & Mahayana


HINAYANA DAN MAHAYANA
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh:
Noviah ( 1111032100045)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
       I.            PENDAHULUAN
            Agama Buddha pernah mengalami masa keemasannya di Bumi Nusantara pada masa keprabuan Sriwijaya di Sumatera, kerajaan kuno Mataram dan Majapahit di Jawa. Pada masa itu, terdapat Perguruan Tinggi Agama Buddha (Mahayana) yang mempunyai nilai internasional, yakni di Sumatra dan Jawa.
            Dalam sejarah tercatat beberapa sarjana dari negeriTiongkok dan India datang belajar bahasa Sansekerta, filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana. Mereka yang belajar kesini adalah; I-Tsing (634-713) dua kali ke Sriwijaya dengan 41 bhiksu yng mahasiswa, Hui-Ning (antara tahun 664-667) berguru kepada Janabhadra seorang maha guru Buddhism di Jawa, Atisa (982-1054) dari India datang ke Palembang belajar logika dan filsafat Agama Buddha Mahayana. Tercatat yang ada pada waktu itu para bhiksu dan sarjana maupun mahasiswa dari negeri China yang datang ke bumi Nusantara untuk belajar Agama Buddha Mahayana, tidak ada dari bumi Nusantara yang datang ke Tiongkok untuk belajar. I-Tsing menyalin dan menterjemahkan banyak kitab-kitab suci penting Agama Buddha Mahayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Menurut memoir dari I-Tsing, apa yang terdapat di Sriwijaya seperi tata-upacara keagamaan adalah sama seperti India, dan diperkenalkan dia ke Tiongkok melalui buku-buku terjemahannya yang dikumpulkan selama dua kali berada di Sriwijaya - Palembang[1].
    II.            DUA ALIRAN BESAR DALAM AGAMA BUDDHA
Di dalam Agama Buddha terdapatlah dua aliran besar yaitu Aliran Selatan/Hinayana/Theravada dan Aliran Utara/Mahayana.
1.      ALIRAN HINAYANA
Hinayana adalah ajaran-ajaran asli dari Buddha Gautama dan kitab sucinya ialah Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhidamma Pitaka.
Di dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yag menganut aliran ini masih mempertahankan kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih hidup pada 25 abad yang silam.
 Prinsip-prinsip pandangan dari ajarana Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Buddha dan menjaga ajaran Buddha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh karenanya dipandang orthodox. Pengikut-pengikutnya juga tidak begitu meluas sebagaimana aliran Mahayana. Kata Hinayana sendiri telah menunjukkan isi dan cita-cita yang terkandung didalamnya yaitu berarti kendaraan kecil. Maksudnya bahwa aliran ini tidak dapat menampung banyak orang untuk memperoleh kebahagiaan nirwana, karena dalam prinsip pandangannya menyatakan bahwa setiap orang bergantung pada usahanya sendiri dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan tanpa adanya penolong dari dewa ataupun manusia Buddha. Aliran ini disebut juga “Theravada” yang lebih jelas menggambarkan pendirian aliran tersebut, karena Theravada berarti “jalan orang-orang tua” [2]
Penganut-penganut Hinayana menitikberatkan meditasi untuk mencapai peneranga sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami Dhamma dan mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya mengenal Dhamma dan Nibbana sebagai jalan dan tujuan dari hidup kita ini, sedang yang lain-lain itu tidakk menjadi kebutuhan pokok.
Upacara-upacara keagamaan kurang dianggap penting dan bahkan upacara-upacara yang berlebih-lebihan hanya menjadikan ikatan-ikatan yang dapat menghambat kemajuan-kemajuan bathin[3].
Para sarjana-sarjana modern, saat ini banyak yang mencurahkan perhatiannya pada Agama Buddha dan menyelidiki kebenaran-kebenaran dari ajaran-ajaran Sang Buddha yang telah disabdakan 25 abad yang lalu.
Agama Buddha tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan karena kedua-duanya bersumber pada kesunyataan yang ada di dalam dunia ini. Dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang telah dapat dicapai oleh umat manusia, maka kita akan lebih yakin lagi akan kebenaran-kebenaran yang telah diajarkan oleh Sang Buddha kepada kita.
v  Ajaran Hinayana
Dalam pokok ajarannya Hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat di dalama kitab-kitab kanonik. Jika ajaran itu di ikhtisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian:

Meditasi dalam Budhisme


MEDITASI DALAM BUDDHISME
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Matakuliah Buddhisme
Dosen pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M. Ag
Oleh:
Mila Kamilah (1111032100051
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
I.                   Pendahuluan
Dalam agama Buddha kata meditasi dipergunakan sebagai sinonim dari semadi (samadhi) dan pengembangan batin (bhavana). Tradisi meditasi sudah dikenal pada zaman sebelum Buddha Gotama. Buddha sendiri menyatakan bahwa ia mendapat pelajaran dari dua orang brahmana yang terkenal yaitu Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, dan Gotama dapat menguasai semua teknik yoga hingga berhasil mencapai konsentrasi tingkat tertinggi menyamai sang guru. Semadi benar didefinisikan sebagai pikiran yang baik, yaitu kesadaran (citta) dan corak batin (cetasika) yang baik, terpusat dengan mapan pada satu objek.
Semadi memiliki karakteristik (lakkhana) pikiran yang tidak kacau, tidak terganggu, memiliki fungsi (rasa) mengatasi kekacauan, menyebabkan tercapainya ketenangan. Manifestasinya (paccupatthana) tidak bergelombang. Sebab yang terdekat menimbulkan (padatthana) pemusatan pikiran adalah kebahagiaan. “Dengan merasa bahagia, pikirannya menjadi terpusat” (D. I,73). Namun, pikiran yang baik (suci) lebih baik daripada terpusat, karena walaupun terpusat (penuh konsentrasi), pikiran yang buruk menghasilkan semadi yang salah.
II.                Pengertian Meditasi
Kata “meditasi” berasal dari bahasa Latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal merenungkan, memikirkan, mempertimbangkan atau latihan, pelajaran persiapan. Dalam Kamus Teologi meditasi adalah do’a batin, merenungkan Kitab Suci atau tema-tema rohani yang lain, bertujuan mencapai kesatuan dengan Allah dan memperoleh pemahaman atas kehendak Illahi. Sebagai suatu bentuk doa bagi pemula, latihan meditasi langkah demi langkah akan membawa orang kepada tingkatan kontemplasi yang lebih tinggi dan sederhana.[1]
Menurut KBBI, meditasi artinya pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Meditasi mengandung pengertian yang sama dengan tafakur. Bertafakur adalah menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh, memikirkan, merenung atau mengheningkan cipta. Semua istilah tersebut sering disebut sering dinamakan semadi. Bersemadi adalah memusatkan pikiran (meniadakan segala hasrat jasmaniah).[2] Bersemadi juga sama dengan bertapa. Bertapa adalah mengasingkan diri dari keramaian orang-orang (dunia) dengan menahan hawa nafsu untuk mencari ketenangan batin.
Dalam buku Meditasi I, meditasi adalah membiasakan diri agar senantiasa mempunyai sikap yang positif, realistis, dan konstruktif. Dengan bermeditasi kita akan dapat membangun kebiasaan baik dari pikiran kita. Meditasi dilakukan dengan pikiran, dengan meditasi kita akan dapat mengalihkan pandangan kita sedemikian rupa sehingga kita menjadi lebih berwelas asih, cinta kasih, dan kita mengerti tentang hakikat dari kenyataan hidup ini.[3]
Meditasi juga dapat membersihkan dari rintangan-rintangan batin (nivarana) yang berupa keserakahan (lobha), kemarahan, dendam, ngantuk, kelambanan/kemalasan, kegelisahan dan keragu-raguan dalam praktek meditasi. Orang yang terikat oleh salah satu nivarana batinnya akan gelap, semua ini dikarenakan oleh sifat-sifat tidak baik yang dicengkram nivarana. Jika batin belum mencapai ketenangan pertama, maka batin ini masih merupakan budak  nivarana.
Lima ciri ketenangan pertama (pathama jhana):

TILAKKHANA DAN PATICCA SAMUPPADA


PENGERTIAN TILAKKHANA DAN PATICCA SAMUPPADA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh :
Ratna Hldya Astuti     (1111032100033)

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
PENDAHULUAN

            Dari latar belakang sejarah bagaimana terjadinya Sidharta Gautama menjadi Budha, maka ajaran Buddha tidak bertitik tolak dari ajaran ketuhanan, melainkan berdasarkan kenyatan-kenyataan hidup yang dialami manusia, yang mana kehidupan manusia itu tidak terlepas dari ‘dukkha’ maka yang penting adalah bagaimana caranya membebaskan diri dukkha tersebut.[1]

A.    Pengertian Tilakhana
Tilahana ini termasuk ilmu pengetahuan dalam. Ilmu pengetahuan dalam ini disebut PARINNA. Ada tiga macam parrina yaitu:[2]
1.      NATA PARRINA : pengetahuan dalam yang telah dimengerti.
2.      TIRANA PARRINA : pengetahuan dalam yang di bahas.
3.      PAHANA PARRINA : pengetahuan dalam tentang pembersihan.

NATA PARRINA ialah ilmu pengetahuan dalam yang telah dimengerti, dipahami dan dilaksanakan serta telah dihayati dalam penghidupan. Karena nata parrina ini telah dilaksanakan dan dialami sendiri maka nata parrina dapat membedakan tentang baik dan buruk dengan tajam sekali dan juga dapat mengetahui perbedaan jasmani dan batin, dengan bermacam-macam kedaan dan sebab-musabab terjadinya secara langsung.
Yang telah memiliki nata parrina adalah SANG BUDDHA ketika beliau mencapai ABHINNA dan juga para Arahat. ABHINNA adalah pengetahuan dalam yang berada diluar pengetahuan manusia biasa.
TIRANA PARRINA adalah pengetahuan dalam dan sempurna, yang membahas tentang segala sesuatu yang bersifat sementara, tidak kekalselalu berubah, baik dalam bentuk lahir (jasmani) maupun batin.
PAHAN PARRINA adalah pengetahuan dalam sempurna tentang pembersihan atau pengusiran. Terdapat lima macam pahana atau lima macam cara untuk membersihkan bathin.
Lima macam pahana itu ialah :

Hukum Kasunyataan


KEYAKINAN TERHADAP HUKUM KASUNYATAAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Budhisme

Oleh:
IKA WAHYU SUSANTI
1111032100039

PRODI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013


Pendahuluan
Pembahasan Hukum Kasunyataan merupakan salah satu isi dari Panca Sadha yang merupakan keyakinan pokok Agama Budha yang ditemukan oleh Sang Budha dengan kemampuan sendiri. Di mulai saat Budha Gotama mencapai Penerangan Sempurna melalui proses yang tidak mudah.
Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan
A.                Pengertian Hukum Kasunyataan
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa Sansekerta disebut Satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah.[1]Hukum Kasunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kasunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat, didalam semua keadaan di setiap waktu. Kasunyataan yang dibuat oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Budha. [2]
Kata Kasunyataan berasal dari bahasa Sansekerta SUNYATA atau bahasa Pali SUÑÑATA yang berarti jalan pikiran (konsepsi) yang tidak dapat dibentangkan dengan kata-kata manusia, hanya dapat ditembus dengan intuisi/pandangan terang, dan kata Sunyata/ Suññataadalah dari kata SUNYA/ SUÑÑA artinya pencirian segala sesuatu yang kosong dari definisi yang tepat.[3]
Sunyata/Suññata juga digunakan untuk mencirikan Yang Mutlak yang tidak dapat dinyatakan dengan kata-kata manusia. Segala sesuatu yang hanya dapat disadari oleh kemampuan luhur karena Pandangan Terang. Kenyataan Mutlak, ialah yang berlaku dimana saja, dan kapan saja, tidak tergantung pada waktu dan tempat.[4]Kata suññata dan sunyata dipakai untuk mencirikan Kenyataan Mutlak dan dalam bahasa Indonesia disebut KESUNYATAAN.[5]
Sederhana Dhamma berarti Ajaran Agama. Hukum Kasunyataan termasuk didalam Dhamma yang telah diajarkan Budha Gotama kepada manusia dalam khotbah pertama, ialah dua bulan setelah Siddharta Gotama mencapai tingkat Budha tepat di bulan Asadha tahun 588 SM di Isipatana (sekarang Sarnath) dekat Benares India.[6]
Dhamma banyak dibentangkan dan diterangkan berulang-ulang kali di banyak tempat yang tidak terhitung lagi jumlahnya, dengan lebih banyak perincian dan dengan berbagai cara, sehingga dapat dikenal adanya empat hukum Kesunyataan yaitu:[7]

Riwayat Hidup Sidharta Gautama


-        Makalah Revisi -
Riwayat Sidharta Gautama; Pengertian Budha, Dharma, dan Triatna, Pengertian Saddha dan Panca Saddha (Sang Hyang Adi Buddha, Budha, Bodhisatwa, Arahat)
Diajukan guna memenuhi tugas pada mata kuliah Budhisme semester 4
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, MA

Oleh:
ATI PUSPITA
1111032100055
PERBANDINGAN AGAMA – B
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENDAHULUAN

Agama Buddha timbul sekitar abad ke-enam SM sebagai reaksi terhadap sistem upacara keagamaan Hindu Brahmana yang kaku. Istilah Buddha, berasal dari kata ‘Buddh’ yang artinya ‘bangkit’ atau ‘bangun’, dan dari kata kerjanya ‘Bujjhati’ berarti memperoleh pencerahan, mengetahui, dan mengerti, sehingga kata Buddha dapat diartikan seseorang yang telah memperoleh kebijaksanaan yang sempurna.[1] Sebagaimana umumnya diketahui oleh banyak orang bahwa nama agama Buddha berasal dari Siddharta Gautama, yang diterima oleh murid-muridnya sebagai Buddha atau ‘Kebangkitan Buddha’.[2]
Sebagai agama, ajaran Buddha tidak bertitik tolak dari Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia, tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang harus dijalani agar terbebas dari lingkungan dukkha (penderitaan) yang selalu mengiringi hidupnya.[3]


  1. INDIA SEBELUM MASA BUDDHA GAUTAMA

Terdapat dua corak dari agama-agama di dunia dewasa ini, yaitu berpusat pada Tuhan (theis-sentris) dan berpusat pada manusia (homo-sentris).[4]
            Sebagai salah satu tempat berkembangnya peradaban dan kebudayaan dunia, India telah menjadi tanah suci bagi banyak orang untuk mendalami hakikat hidup Terdapat 2 pandangan yang lazim di India sebelum masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme dan Sramanaisme.
Apakah pandangan Brahmanisme dan Sramanaisme itu? [5]
Pandangan Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan dari bangsa Arya. Menurut paham ini, roh dan jasmani adalah satu. Dengan demikian apabila roh dan jasmani merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak ada lagi kehidupan selanjutnya (karena matinya badan jasmani akan berarti matinya roh atau jiwa). Inilah yang disebut paham nihilisme. Apa akibat dari mereka yang memegang pandangan ini? Karena beranggapan bahwa hidup hanya sekali dan tidak ada lagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang akan terus-menerus memuaskan nafsu keserakahannya pada kehidupan ini. [6]
Berbeda dari pandangan Brahmanisme, pandangan Sramanaisme yang diturunkan oleh bangsa Dravida menganggap bahwa roh dan jasmani bukanlah satu kesatuan. Dan karena roh tidak sama dengan jasmani, maka matinya badan jasmani tidak berarti matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang kekal dan abadi dan apabila pada saatnya seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya menyatu dengan keabadian itu sendiri. Pandangan ini memunculkan paham eternalisme (kekekalan). Apa akibat dari mereka yang memegang pandangan ini?
Karena beranggapan bahwa roh akan terus ada, roh ini pada akhirnya harus berhenti dalam penyatuan dengan sesuatu yang disebut Maha Kekal. Dan untuk bisa menyatu dengan sesuatu Yang Maha Kekal, roh tersebut haruslah menjadi roh yang suci dahulu. Akibatnya seseorang akan terus melakukan penyiksaan diri (bahkan sampai berlebihan) dengan tujuan menyucikan rohnya sendiri. [7]
Kedua pandangan ini ditolak oleh Buddha Gautama dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan sebuah jalan alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan atau Jalan Tengah (the middle way). Bagi umat Buddha ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman hidup daripada sebatas agama.
Mengapa? Karena apa yang ditawarkan oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan, melainkan sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat diterima oleh semua orang) agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan lebih berarti. [8]

  1. RIWAYAT SIDDHARTA GAUTAMA
Menurut para ahli barat, Buddha Gautama, pendiri Agama Buddha dilahirkan pada tahun 563 SM dan wafat pada tahun 483 SM. Ia adalah anak Raja Suddhodana yang memerintah atas suku Sakya. Ibunya bernama Maya. Ia dibesarkan di ibukota kerajaan yaitu Kapilawastu.[9]
Dalam kehamilan, kelahirannya ratu Maya merasakan ada tanda-tanda bahwa anak yang dikandungnya tidak akan menjadi anak yang biasa. Karena ramalan pun menyebutkan demikian.[10]
Ratu Maya melahirkan seorang Bodhisattwa tanpa kesulitan Dan para dayang yang mendampingi Ratu, menyaksikan dengan penuh kesenangan.[11]
Pertapa Asita berdiam disalah satu gunung yang tidak begitu jauh dari istana, mengunjungi pangeran untuk menyaksikan tanda-tanda pada tubuh pangeran, memperhatikan dengan seksama dan menemukan bahwa pangeran memiliki kewajiban besar (karena memiliki tanda-tanda tubuh dari orang yang Agung yang disebut Maha Purisa.[12]
Pertapa Asita tertawa setelah melihat pangeran. Tertawa karena pada suatu hari nanti pangeran akan mencapai Kesempurnaan (Buddha), sempurna dalam Kebijaksanaan maupun Kewajiban, menjadi Guru para dewa dan manusia. Kemudian ia menangis karena usianya yang telah lanjut dan tidak mempunyai kesempatan lagi melihat dan mendengarkan saat pangeran mencapai kesempurnaan tersebut dan menjadi Juru Selamat dunia dengan mengajarkan Buddha Dharma. Kemudian ia berlutut dan menghormat kepada pangeran dan tanpa disadari diikuti oleh Raja Suddhodana.[13]
Tetapi pemaisuri wafat ketika sang bayi berumur satu Minggu.[14] Buddha sekarang diasuh oleh kakak perempuan ibunya, Mahaprajapati, yang juga menjadi istri Raja Suddhodana.[15] Bayi itu diberi nama Siddharta, yang berarti semua cita-citanya tercapai, Gautama adalah nama keluarganya[16] juga karena sanak keluarganya menganggap dirinya sebagai keturunan Guru Weda Gautama. Ia juga disebut Shakyamuni yakni rahib atau yang bijaksana dari kaum Shakya, dan Shaakya-sinha yaitu Singa dari kaum Sakya karena ia termasuk golongan Ksatria keturunan Shakya.[17] Pada waktu hidupnya Siddharta sebagai putra raja, Siddharta dilimpahi oleh kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Maksud ayahnya ialah untuk menjauhkan Siddharta dari pemikiran menjadi pemimpin Agama. Namun, hati Siddharta lebih tertarik pada pertapaan.[18]
Setelah Pernikahan Pangeran Siddharta dengan Putri Yasodhara, mereka hidup sangat bahagia, karena mereka cocok satu sama lain. Pangeran hidupnya sangat senang, tetapi hanya menikmati hidup penuh kesenangan duniawi di istananya. Namun demikian, pangeran suka pergi menyendiri untuk merenung di tempat yang suci dan tenang.[19]
Pada suatu hari, Siddharta bercengkrama dengan saisnya, Chanda. Sekalipun raja telah memerintahkan agar seluruh jalan itu harus dibersihkan dari hal yang tidak menyenangkan namun dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah tua sekali (menurut dongeng, orang tersebut adalah penjelmaan Dewa Brahma yang dengan sengaja menampakan hal itu karena sudah waktunya Siddharta meninggalkan kemewahan).
Atas keterangan Chanda ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta kembali ke istana. Pada perjalanan cengkeramanya yang kedua Siddharta melihat orang yang kurus dan sakit hingga tampak lemah sekali, kemudian dalam perjalanan yang ketiga ia melihat jenazah yang diangkut ke kubur dengan diikuti oleh orang-orang yang mengantarkannya. Akhirnya pada perjalanan cengkerama yang keempat ia melihat seorang pertapa, yang tampak serius, terhormat, serta menguasai diri.[20]
Empat peristiwa penting tadi, yang beliau lihat tua, sakit, meninggal, dan pertapa mulia, menyadarkan beliau bahwa semua itu harus dialami oleh semua makhluk, yakni seorang manusia akan tua, akan sakit, dan akan meninggal.[21] Sejak itu Siddharta ingin mengikuti kehidupan pertapa ini. Ia mencari jalan bagaimana dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[22]
Pada waktu yang sudah ditentukan oleh para dewa, Siddharta pergi meninggalkan istri dan anaknya serta segala kenikmatan hidup di dalam istana. Dengan tanpa diketahui siapapun.[23] Semua itu terjadi sama seperti yang sudah diramalkan oleh seorang Brahmana pada waktu kelahiran Siddharta, yaitu bahwa Putra raja akan menjadi seorang Buddha, dan bahwa hal itu akan dimulai setelah sang putra raja melihat empat tanda: orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa.[24]
Sekarang dimulailah hidup pengembaraan untuk memperoleh kelepasan. Tetapi lama ia tidak mendapatkan apa yang dicarinya.[25] Akhirnya, suatu sore waktu ia berumur 35 tahun. Ia duduk di bawah pohon Bodhi[26] (pohon kesadaran) di Bodh Gaya dengan maksud tidak akan meninggalkan pohon itu sebelum ia mendapat pencerahan. Ia duduk di bawah pohon dengan menghadap ke timur.[27]
Pertapaan itu dilaluinya dengan gangguan Mara, iblis dengan macam-macam cara. Namun Siddharta berhasil mengalahkannya.
Pencerahan adalah jalan agung menuju negeri orang yang mengetahui segalanya. Ia adalah mata yang suci yang dapat melihat jalan, benar dan salah. Ia adalah benih dari semua Buddha dan menyebabkan ajaran Buddha tumbuh. (Kegon-Gyo (Avatamsaka-sutra))
Saat matahari terbit, Siddharta memperoleh kemenangan dengan tiga tahap :