Tampilkan postingan dengan label Paper. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Paper. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Juni 2013

Sangha


SANGHA
Oleh: Ifa Nurofiqoh



A.      PENDAHULUAN
 “Agama Buddha adalah agama Missionari yang pertama dalam sejarah kemanusiaan dengan suatu pesan keselamatan yang universal bagi semua umat manusia. Sang Budha setelah mencapai pencerahan/penerangan sempurna, mengutus 61 siswanya ke berbagai arah yang berlainan dan meminta mereka untuk membabarkan dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia”.
Dr. K. N. Jatatilleke, “Budhism and Peace” [1]
Ajaran Buddha setelah Mahaparinibbana Sang Buddha, dilanjutkan oleh para siswa-siswa utama melalui konsili-konsili yang menghasilkan kumpulan ajaran Buddha berdasarkan khotbah, aturan dan peristiwa yang terjadi pada waktu kehidupan Sang Buddha. Penyebaran ajaran Buddha memberikan banyak kontribusi kemakmuran pada berbagai negara. Raja Asoka yang terkenal dengan pedangnya dan selalu ingin menguasai negara-negara yang sebelahnya, namun setelah mendengarkan ajaran Sang Buddha, kemudia menjadi pengikut Buddha dan berperang bukan dengan senjata tajam melainkan dengan kebenaran Dhamma.
Sangha berperan sebagai perubah nilai psikologis pada manusia. Orang yang melihat kehidupan dan perbuatan para Bhikkhu yang terlatih dalam sila, memberikan kesejukan hati dan rasa damai. Kegembiraan ini muncul dalam diri manusia yang selalu memberikan penghormatan dan keyakinan terhadap Sangha. Dimana para bhikkhu-bhikkhuni yang selalu memberikan dampak yang baik dalam bertindak.
Dalam memahami agama Buddha, tentunya akan kita temukan perbedaan-perbedaan dengan agama lain. Para penganut agama Buddha tidak memerlukan upacara-upacara keagamaan seperti pemujaan terhadap sang dewa, namun agama buddha lebih mengutamakan penganutnya untuk berbuat (karma) membebaskan diri dari pederitaan (dukkha). Penyebab dari dukkha itu sendiri adalah keinginan (tanha) dan ketidaktahuan (avijja). Untuk dapat terbebas dari dukkha tersebut maka sesorang harus bisa melenyapkan/memadamkan keinginan yang terbelunggu didalam dirinya dengan melaksanakan Salah satu dari delapan jalan untuk melenyapkan penderitaan yaitu dengan melaksanakan sila (salah satunya dengan cara menjadi anggota sangha). Untuk dapat menjadi seorang sangha harus melalui beberapa tahapan-tahapan dan mematuhi dasa sila agama Buddha, selain itu juga terdapat beberapa tingkat kesucian yang harus dicapai bagi kelompok buddha sangha.
Memang untuk memahami ajaran tentang sangha kita perlu mempelajari terlebih dahulu mengenai sejarah awal dan perkembangannya, sebelum kita masuk kedalam pembahasan yang lebih rinci seperti tingkat kesucian, kedudukan, serta tahapan-tahapan dalam memasuki kelompok sangha. Untuk itulah penulis akan memaparkan sedikit pemahamannya mengenai hal tersebut.

B.       SEJARAH TERBENTUKNYA SANGHA
Pada waktu Sang Budha menyebarkan Dhamma, semua persoalan dan ketidak jelasan yang timbul baik yang berasal dari lingkungan biksu maupun upasaka, apabila tidak dapat dipecahkan sendiri maka ditanyakan kepada Sang Budha. Sesuai dengan sabda Sang Budha sebelum wafat kepada Bikkhu Ananda untuk berpedoman pada Dhamma-Vinaya, maka dalam pelaksanaannya tidak mudah karena dalam agama Budha tidak dikenal adanya lembaga keagamaan yang diberikan wewenang tertinggi yang memutuskan dan memberikan ketetapan atas suatu masalah. Untuk memastikan Dhamma Vinaya yang dimaksud dalam suatu permasalahan prosedurnya tidaklah mudah.[2]

Senin, 03 Juni 2013

BUDHISME DI INDIA & BUDDHISME DI CINA


BUDHISME DI INDIA & BUDDHISME DI CINA
Oleh:
SITI NURHAYATI

BAB I
PENDAHULUAN

Agama Budha merupakan sejarah agama-agama di India  yang dimulai  semenjak tahun 500 SM hingga tahun 800 M. Secara historis agama tersebut  mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, akan tetapi juga mempunyai beberapa  perbedaan dengan  agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu agama Hindu.
Zaman Budha dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama “ Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem Yoga dan Semadhi sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Agama Hindu dari India Selatan menyebar sampai keluar India dengan berbagai cara. Terutama melalui perdagangan bebas internasional.
Perlu diketahui bahwa peradaban pada masa ini telah dapat disejajarkan dengan peradaban-peradaban seperti Yunani, Mesir, dan Eropa yang telah maju. Pengetahuan tentang Sejarah kerajaan ini dapat menambah pengetahuan kita tentang sejarah dunia, selain itu dapat dikomparasikan dengan kerajaan-kerajaan nasional yang juga berpengaruh pada dunia kala itu.
Secara geografis, agama Budha mempunyai tiga periode, yaitu periode pertama tetap terbatas pada orang-orang India secara keseluruhannya. Periode kedua sudah berkembang dan menyebar keluar dari negeri asalnya India ke Asia Timur dan ada pengaruh pada pemikiran filsafat non Indian; dan pada periode ketiga pusat-pusat kreatif pemikiran Budhis didirikan diluar India, terutama di China.[1]




BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Agama Budha Di India
Agama Budha telah berlangsung kira-kira 2.600 tahun dan selama periode itu telah mengalami perkembangan. Sejarah perkembangan agama Budha di India setelah Budha Gautama wafat dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu a) Masa perkembangan awal hingga pasamuan agung Kedua, b) Masa kekuasaan Raja Asoka; dan c) Masa Kemunduran Agama Budha di India.[2]
1.    Masa Perkembangan Awal
Pemerintahan Magadha
Raja-raja Magadha yang terkenal ialah Sisunaga (642 SM), Bimbisara (582 SM), dan Ajatasatru, nama lain Kunika (554 SM). Bimbisara memperluas kerajaan Magadha dan menaklukan kerajaan-kerajaan di sekelilingnya. Di masa pemerintahan Ajatasatru agama Buddha dan Jaina mulailah bersaing untuk merebut kedudukan yang terpenting. Menurut berita di masa itu Devadatta seorang keponakan Buddha melawan agama Buddha dan mendirikan cabang agama baru yang mempunyai pengikut hingga abad ke-7, tarikh Masehi. Ajasatru memperluas kerajaan Magadha dan memindahkan ibukotanya ke Pataliputra, di tepi sungai Gangga.[3]
Beberapa tahun kemudian di waktu pemerintahan Udaya, cucu Ajatasaru (kurang lebih 516 SM) Darios dari Persia menaklukan daerah di Sindh dan Punjab, di hulu sungai Indus. Dalam berita-berita itu tertulis bahwa raja Persia mempunyai prajurit-prajurit bangsa India yang turut berjuang di tanah Yunani.
Sejak abad ke-5 SM, sejarah kerajaan Magadha tidak begitu jelas lagi. Yang agak dapat dipercayai adalah kisah ini. Salah seorang keturunan Bimbasara yang tidak begitu besar kuasanya dibunuh dan diganti menterinya yang bernama Mahapadma Nanda dari golongan Sudra. Raja itulah asal keturunan 9 orang raja yang berturut-turut memerintah Magadha sampai tahun 322 SM. Pada tahun itu Nanda yang penghabisan dibunuh oleh oleh Chandragupta Maurya. Menurut dugaan ia adalah seorang keturunan Nanda juga akan tetapi kawin dengan perempuan kasta rendah. Dengan Chandragupta mulailah riwayat kejadian-kejadian di India jelas dan dapat ditentukan. Diwaktu pemerintahan raja itu, Magadha berhasil merebut kuasa yang seluas-luasnya. Akan tetapi dua tahun sebelum ia diangkat menjadi raja terjadilah peristiwa yang besar akibatnya bagi seluruh India, yaitu penyerbuan Iskandar Zulkarnain ke India.[4]

Penyerbuan Iskandar Zulkarnain ke India
Iskandar Zulkarnain adalah seorang raja dan panglima besar Yunani yang mahsyur dalam sejarah Barat purbakala. Ayahnya memerintah dalam negeri kecil, yaitu Makedonia, bagian dari tanah Yunani. Waktu masih muda ia mendapat pendidikan yang luas, bukan dalam keprajuritan saja tapi dalam ilmu filsafat dan pemerintahan juga. Ayahnya mempunyai cita-cita untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Yunani dan memperluas kerajaannya sampai ke daerah Asia, akan tetapi sebelum ia dapat menjalankannya, ia dibunuh oleh seorang penjahat.[5]
Putra mahkota Iskandar juga yang pada ketika itu baru berumur 24 tahun menjadi raja di negeri Makedonia sebagai penggantinya. Iskandar mengadakan persediaan untuk meneruskan niat ayahnya itu.  Di tahun 334 SM balatentaranya menyebrang selat Hellesponts yang memisahkan Eropa dengan Asia. Dengan cepat seperti halilintar ia menaklukan Asia Muka (Turki sekarang), Syria, Palestina, Mesir, Persia, dan Baktria, sehingga di tahun 327 SM jadi sudah tujuh tahun sudah meninggalkan negerinya, balatentaranya tiba di batas India, negeri yang mengandung banyak rahasia kekayaan dan hasil-hasil kebudayaan yang luhur. Bagi seorang pahlawan yang muda, remaja nafsunya tidak dapat tertahankan lagi untuk memasuki dan memerangi India yang sudah begitu dekat di hadapannya.
Setelah didirikannya benteng-benteng pertahanan di tapal India dan Baktria. Maka tahun 327 SM turunlah ia ke lembah India melalui pegunungan Hindu – Kush dan jurang-jurang yang dalam.
Menurut berita, Iskandar mula-mula tidak mendapatkan perlawanan dalam negeri-negeri yang didudukinya. Di antara negeri yang terkenal itu ialah negeri Takkashila. Peninggalan kota itu sekarang masih nampak di dekat kota Rawalpindi. Ia menyebrangi hulu sungai India dan terus memasuki Punjab atau negeri lima sungai. Akan tetapi ketika melalui sungai Jhilam (dalam bahasa Yunani: Hydaspes) Iskandar mengalami perlawanan hebat yang belum pernah dialaminya dalam tujuh tahun, sejak ia menyerbu ke Asia. Tatkala Iskandar sampai di tepi sungai Jhilam, raja negeri Poros sudah siap sedia menantikan kedatangannya dengan tentara terdiri dari 30.000 serdadu berjalan, 4000 serdadu berkuda, 300 kereta perang yang ditarik empat ekor kuda, 200 gajah perang, semua membawa senjata yang langka.[6]

Kamis, 30 Mei 2013

Hinayana & Mahayana


HINAYANA DAN MAHAYANA
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh:
Noviah ( 1111032100045)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
       I.            PENDAHULUAN
            Agama Buddha pernah mengalami masa keemasannya di Bumi Nusantara pada masa keprabuan Sriwijaya di Sumatera, kerajaan kuno Mataram dan Majapahit di Jawa. Pada masa itu, terdapat Perguruan Tinggi Agama Buddha (Mahayana) yang mempunyai nilai internasional, yakni di Sumatra dan Jawa.
            Dalam sejarah tercatat beberapa sarjana dari negeriTiongkok dan India datang belajar bahasa Sansekerta, filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana. Mereka yang belajar kesini adalah; I-Tsing (634-713) dua kali ke Sriwijaya dengan 41 bhiksu yng mahasiswa, Hui-Ning (antara tahun 664-667) berguru kepada Janabhadra seorang maha guru Buddhism di Jawa, Atisa (982-1054) dari India datang ke Palembang belajar logika dan filsafat Agama Buddha Mahayana. Tercatat yang ada pada waktu itu para bhiksu dan sarjana maupun mahasiswa dari negeri China yang datang ke bumi Nusantara untuk belajar Agama Buddha Mahayana, tidak ada dari bumi Nusantara yang datang ke Tiongkok untuk belajar. I-Tsing menyalin dan menterjemahkan banyak kitab-kitab suci penting Agama Buddha Mahayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Menurut memoir dari I-Tsing, apa yang terdapat di Sriwijaya seperi tata-upacara keagamaan adalah sama seperti India, dan diperkenalkan dia ke Tiongkok melalui buku-buku terjemahannya yang dikumpulkan selama dua kali berada di Sriwijaya - Palembang[1].
    II.            DUA ALIRAN BESAR DALAM AGAMA BUDDHA
Di dalam Agama Buddha terdapatlah dua aliran besar yaitu Aliran Selatan/Hinayana/Theravada dan Aliran Utara/Mahayana.
1.      ALIRAN HINAYANA
Hinayana adalah ajaran-ajaran asli dari Buddha Gautama dan kitab sucinya ialah Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhidamma Pitaka.
Di dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yag menganut aliran ini masih mempertahankan kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih hidup pada 25 abad yang silam.
 Prinsip-prinsip pandangan dari ajarana Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Buddha dan menjaga ajaran Buddha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh karenanya dipandang orthodox. Pengikut-pengikutnya juga tidak begitu meluas sebagaimana aliran Mahayana. Kata Hinayana sendiri telah menunjukkan isi dan cita-cita yang terkandung didalamnya yaitu berarti kendaraan kecil. Maksudnya bahwa aliran ini tidak dapat menampung banyak orang untuk memperoleh kebahagiaan nirwana, karena dalam prinsip pandangannya menyatakan bahwa setiap orang bergantung pada usahanya sendiri dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan tanpa adanya penolong dari dewa ataupun manusia Buddha. Aliran ini disebut juga “Theravada” yang lebih jelas menggambarkan pendirian aliran tersebut, karena Theravada berarti “jalan orang-orang tua” [2]
Penganut-penganut Hinayana menitikberatkan meditasi untuk mencapai peneranga sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami Dhamma dan mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya mengenal Dhamma dan Nibbana sebagai jalan dan tujuan dari hidup kita ini, sedang yang lain-lain itu tidakk menjadi kebutuhan pokok.
Upacara-upacara keagamaan kurang dianggap penting dan bahkan upacara-upacara yang berlebih-lebihan hanya menjadikan ikatan-ikatan yang dapat menghambat kemajuan-kemajuan bathin[3].
Para sarjana-sarjana modern, saat ini banyak yang mencurahkan perhatiannya pada Agama Buddha dan menyelidiki kebenaran-kebenaran dari ajaran-ajaran Sang Buddha yang telah disabdakan 25 abad yang lalu.
Agama Buddha tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan karena kedua-duanya bersumber pada kesunyataan yang ada di dalam dunia ini. Dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang telah dapat dicapai oleh umat manusia, maka kita akan lebih yakin lagi akan kebenaran-kebenaran yang telah diajarkan oleh Sang Buddha kepada kita.
v  Ajaran Hinayana
Dalam pokok ajarannya Hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat di dalama kitab-kitab kanonik. Jika ajaran itu di ikhtisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian:

Meditasi dalam Budhisme


MEDITASI DALAM BUDDHISME
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Matakuliah Buddhisme
Dosen pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M. Ag
Oleh:
Mila Kamilah (1111032100051
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
I.                   Pendahuluan
Dalam agama Buddha kata meditasi dipergunakan sebagai sinonim dari semadi (samadhi) dan pengembangan batin (bhavana). Tradisi meditasi sudah dikenal pada zaman sebelum Buddha Gotama. Buddha sendiri menyatakan bahwa ia mendapat pelajaran dari dua orang brahmana yang terkenal yaitu Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, dan Gotama dapat menguasai semua teknik yoga hingga berhasil mencapai konsentrasi tingkat tertinggi menyamai sang guru. Semadi benar didefinisikan sebagai pikiran yang baik, yaitu kesadaran (citta) dan corak batin (cetasika) yang baik, terpusat dengan mapan pada satu objek.
Semadi memiliki karakteristik (lakkhana) pikiran yang tidak kacau, tidak terganggu, memiliki fungsi (rasa) mengatasi kekacauan, menyebabkan tercapainya ketenangan. Manifestasinya (paccupatthana) tidak bergelombang. Sebab yang terdekat menimbulkan (padatthana) pemusatan pikiran adalah kebahagiaan. “Dengan merasa bahagia, pikirannya menjadi terpusat” (D. I,73). Namun, pikiran yang baik (suci) lebih baik daripada terpusat, karena walaupun terpusat (penuh konsentrasi), pikiran yang buruk menghasilkan semadi yang salah.
II.                Pengertian Meditasi
Kata “meditasi” berasal dari bahasa Latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal merenungkan, memikirkan, mempertimbangkan atau latihan, pelajaran persiapan. Dalam Kamus Teologi meditasi adalah do’a batin, merenungkan Kitab Suci atau tema-tema rohani yang lain, bertujuan mencapai kesatuan dengan Allah dan memperoleh pemahaman atas kehendak Illahi. Sebagai suatu bentuk doa bagi pemula, latihan meditasi langkah demi langkah akan membawa orang kepada tingkatan kontemplasi yang lebih tinggi dan sederhana.[1]
Menurut KBBI, meditasi artinya pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Meditasi mengandung pengertian yang sama dengan tafakur. Bertafakur adalah menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh, memikirkan, merenung atau mengheningkan cipta. Semua istilah tersebut sering disebut sering dinamakan semadi. Bersemadi adalah memusatkan pikiran (meniadakan segala hasrat jasmaniah).[2] Bersemadi juga sama dengan bertapa. Bertapa adalah mengasingkan diri dari keramaian orang-orang (dunia) dengan menahan hawa nafsu untuk mencari ketenangan batin.
Dalam buku Meditasi I, meditasi adalah membiasakan diri agar senantiasa mempunyai sikap yang positif, realistis, dan konstruktif. Dengan bermeditasi kita akan dapat membangun kebiasaan baik dari pikiran kita. Meditasi dilakukan dengan pikiran, dengan meditasi kita akan dapat mengalihkan pandangan kita sedemikian rupa sehingga kita menjadi lebih berwelas asih, cinta kasih, dan kita mengerti tentang hakikat dari kenyataan hidup ini.[3]
Meditasi juga dapat membersihkan dari rintangan-rintangan batin (nivarana) yang berupa keserakahan (lobha), kemarahan, dendam, ngantuk, kelambanan/kemalasan, kegelisahan dan keragu-raguan dalam praktek meditasi. Orang yang terikat oleh salah satu nivarana batinnya akan gelap, semua ini dikarenakan oleh sifat-sifat tidak baik yang dicengkram nivarana. Jika batin belum mencapai ketenangan pertama, maka batin ini masih merupakan budak  nivarana.
Lima ciri ketenangan pertama (pathama jhana):

TILAKKHANA DAN PATICCA SAMUPPADA


PENGERTIAN TILAKKHANA DAN PATICCA SAMUPPADA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh :
Ratna Hldya Astuti     (1111032100033)

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
PENDAHULUAN

            Dari latar belakang sejarah bagaimana terjadinya Sidharta Gautama menjadi Budha, maka ajaran Buddha tidak bertitik tolak dari ajaran ketuhanan, melainkan berdasarkan kenyatan-kenyataan hidup yang dialami manusia, yang mana kehidupan manusia itu tidak terlepas dari ‘dukkha’ maka yang penting adalah bagaimana caranya membebaskan diri dukkha tersebut.[1]

A.    Pengertian Tilakhana
Tilahana ini termasuk ilmu pengetahuan dalam. Ilmu pengetahuan dalam ini disebut PARINNA. Ada tiga macam parrina yaitu:[2]
1.      NATA PARRINA : pengetahuan dalam yang telah dimengerti.
2.      TIRANA PARRINA : pengetahuan dalam yang di bahas.
3.      PAHANA PARRINA : pengetahuan dalam tentang pembersihan.

NATA PARRINA ialah ilmu pengetahuan dalam yang telah dimengerti, dipahami dan dilaksanakan serta telah dihayati dalam penghidupan. Karena nata parrina ini telah dilaksanakan dan dialami sendiri maka nata parrina dapat membedakan tentang baik dan buruk dengan tajam sekali dan juga dapat mengetahui perbedaan jasmani dan batin, dengan bermacam-macam kedaan dan sebab-musabab terjadinya secara langsung.
Yang telah memiliki nata parrina adalah SANG BUDDHA ketika beliau mencapai ABHINNA dan juga para Arahat. ABHINNA adalah pengetahuan dalam yang berada diluar pengetahuan manusia biasa.
TIRANA PARRINA adalah pengetahuan dalam dan sempurna, yang membahas tentang segala sesuatu yang bersifat sementara, tidak kekalselalu berubah, baik dalam bentuk lahir (jasmani) maupun batin.
PAHAN PARRINA adalah pengetahuan dalam sempurna tentang pembersihan atau pengusiran. Terdapat lima macam pahana atau lima macam cara untuk membersihkan bathin.
Lima macam pahana itu ialah :

Hukum Kasunyataan


KEYAKINAN TERHADAP HUKUM KASUNYATAAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Budhisme

Oleh:
IKA WAHYU SUSANTI
1111032100039

PRODI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013


Pendahuluan
Pembahasan Hukum Kasunyataan merupakan salah satu isi dari Panca Sadha yang merupakan keyakinan pokok Agama Budha yang ditemukan oleh Sang Budha dengan kemampuan sendiri. Di mulai saat Budha Gotama mencapai Penerangan Sempurna melalui proses yang tidak mudah.
Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan
A.                Pengertian Hukum Kasunyataan
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa Sansekerta disebut Satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah.[1]Hukum Kasunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kasunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat, didalam semua keadaan di setiap waktu. Kasunyataan yang dibuat oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Budha. [2]
Kata Kasunyataan berasal dari bahasa Sansekerta SUNYATA atau bahasa Pali SUÑÑATA yang berarti jalan pikiran (konsepsi) yang tidak dapat dibentangkan dengan kata-kata manusia, hanya dapat ditembus dengan intuisi/pandangan terang, dan kata Sunyata/ Suññataadalah dari kata SUNYA/ SUÑÑA artinya pencirian segala sesuatu yang kosong dari definisi yang tepat.[3]
Sunyata/Suññata juga digunakan untuk mencirikan Yang Mutlak yang tidak dapat dinyatakan dengan kata-kata manusia. Segala sesuatu yang hanya dapat disadari oleh kemampuan luhur karena Pandangan Terang. Kenyataan Mutlak, ialah yang berlaku dimana saja, dan kapan saja, tidak tergantung pada waktu dan tempat.[4]Kata suññata dan sunyata dipakai untuk mencirikan Kenyataan Mutlak dan dalam bahasa Indonesia disebut KESUNYATAAN.[5]
Sederhana Dhamma berarti Ajaran Agama. Hukum Kasunyataan termasuk didalam Dhamma yang telah diajarkan Budha Gotama kepada manusia dalam khotbah pertama, ialah dua bulan setelah Siddharta Gotama mencapai tingkat Budha tepat di bulan Asadha tahun 588 SM di Isipatana (sekarang Sarnath) dekat Benares India.[6]
Dhamma banyak dibentangkan dan diterangkan berulang-ulang kali di banyak tempat yang tidak terhitung lagi jumlahnya, dengan lebih banyak perincian dan dengan berbagai cara, sehingga dapat dikenal adanya empat hukum Kesunyataan yaitu:[7]